SANAD,
MATAN , RAWI DAN THABAQAT
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Ulumul Hadits”

Disusun oleh : Kelompok I
Agung Aji Saputra
|
: 210313045
|
Ahmad Abu Mas’ud
|
: 210313048
|
Alfi Nur
Rohmah
|
: 210313066
|
Dosen Pengampu :
Muhammad Fathurahman, M. Pd. I
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
2014
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu hadits merupakan disiplin ilmu yang sangat penting, karena tanpa ilmu
hadits akan mustahil hadits bisa dipelajari dan dikaji dengan benar sesuai
dengan metodeloginya. Dari fungsinya terhadap hadits, dapat diibaratkan
bagaikan ilmu tafsir terhadap al-Qur’an. Pemahaman al-Qur’an tanpa menggunakan
ilmu tafsir akan sulit untuk dilakukan. Demikian juga ilmu hadits terhadap
hadits.
Sebagaimana diketahui, banyak istilah untuk menyebut nama-nama hadits
sesuai fungsinya dalam menetapkan syari’at islam. Diantara hadits adalah yang pertama yaitu berkaitan
dengan sanad, apakah sanad itu muttasil kepada nabi, dan apakah sanad perawinya
dapat dipercaya. Yang kedua berkaitan dengan matan yaitu apakah informasi yang
terkandung didalamnya berasal dari Nabi atau tidak, dan yang ketiga yaitu
berkaitan dengan thabaqah.
Dari uraian diatas penulis sangat tertarik untuk membahas tentang
permasalahan mengenai sanad, matan dan thabaqah, yang mana taraf kepastian atau
taraf dugaan benar palsunya suatu hadits dapat diketahui.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian sanad?
2.
Apa pengertian matan?
3.
Apa yang dimaksud dengan rawi?
4.
Apa yang dimaksud dengan thabaqah?
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Sanad
Sanad
menurut lughah ialah sesuatu yang kita bersandar kepadanya, baik tembok atau
selainnya sedangkan menurut istilah sanad ialah:
طر يق متن الحد يث
“jalan yang menyampaikan
kita kepada matan hadits”
Ringkasnya
sanad hadits ialah yang disebut sebelum matan hadits sedangkan isnad secara
lughah ialah menyandarkan sesuatu kepada yang lain. Sedangkan menurut istilah
adalah:
رفع الحديث الى قائله اوناقله
“mengangkat hadits
kepada yang mengatakannya atau yang menukilkannya”.[1]
Sedangkan sanad secara termologi adalah
sebagai berikut:
السند هو سلسلة الرواة الذين نقلوا الحديث واحدا عن الاخر
حتى يبلغوا الى قائله
“sanad adalah rangkaian mata rantai para rawi yang meriwayatkan
hadits dari yang
satu kepada yang lain hiungga sampai kepada sumbernya”
Dengan
demikian, sanad adalah rantai penutur, mulai orang yang mencatat hadits
tersebut dalam kitabnya hingga rasulullah SAW. Sanad memberikan gambaran
keaslian suatu riwayat. Contohnya adalah hadits:
حدثنا الحميدي عبد الله ابن زبيري قال : حدثنا سفيان قال
حدثنا يحيى بن سعيد الانصاري قال اخبرني محمد بن ابراهيم التمي انه سمع علقمة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب
على المنبر قال سمعت رسول الله صلى اله عليه وسلم يقول:
Artinya: “telah meriwayatkan kepada kami
Al-humaidi abdullah bin az-Zubair, katanya, ‘telah meriwayatkan kepada kami
sofyan, katanya, ‘telah meriwayatkan kepada kami yahya bin said al-Asyhari,
katanya, ‘telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Ibrahim at-Tami,
sesungguhnya ia mendengar bahwa Aqamah bin Waqas al-Laits berkata telah
mendengar dari Umar bin Khatab ra, aku telah mendengar bahwa rasulullah
bersabda...
Dari
contoh hadits tersebut, sanad hadits bersangkutan adalah al-Bukhari →
al-Humaidi Abdullah bi al-Zubair → Sofyan → Yahya bin Said
al-Ansori → Muhammad bin ibrahim at-Tamiy → Aqamah bin waqas
al-Laits → Umar bin khatab ra. → Rasulullah SAW.
Ini
berarti bahwa kedudukan sanad yang akhir adalah Umar bin Khatab,
sedangkan yang awal adalah al-Bukhari.[2]
B.
Pengertian Matan
Matan
menurut lughoh ialah jalan tengah,punggung bumi atau bumi yang keras dan
tinggi. Sedangkan menuryut istilah, matan hadis ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang dioper oleh
sanad yang terakhir. Baik pembicaraan itu sabda rasul, sahabat atau tabi’in.[3]
Adapun
didalam kitab usul hadis karya Muhammad ujaj Al-Khotib dijelaskan bahwa matan
secara bahasa ialah:
المتن من كل شئ ما صلب ظهره
Sedangkan al-matn yaitu bentuk mufrad dari
lafadz mutunun dan mitaanun. Dan menurut istilah sanad ialah:
هوالفاظ الحديث التى تتقوم بها معانيه
“lafaadz-lafadz hadits yang dapat
menguatkan maknanya hadits”[4]
Sedangkan
yang dimaksud matan dalam ilmu hadits ialah perkataan yang disebut pada akhir
sanad, yakni sabda Nabi SAW, yang disebut sesudah sanad. Dengan kata lain matan
adalah redaksi dalam hadits. Contohnya yaitu:
انماالاعمال بالنيات وانمالكل امرء مانوى
“sesungguhnya setiap amal perbuatan itu sah
hanya tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang hanya memperoleh
apa yang diniatkan”.
Terkait
dengan matan atau redaksi, yaiyu perlu dicermati dalam memahami hadits ialah:
1.
Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah
berujung kepada nabi muhammad atau tidak.
2.
Matan hadits itu sendiri dalam hubungannya
dengan hadits lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau
menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam al-Qur’an (apakah ada yang
bertolak belakang).[5]
C.
Pengertian Rowi
Rawi
adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab, apa yang
pernah didengar dan ditrima dari seorang guru, bentuk jamak dari lafad rawi
ialah ruwah dan perbuatan menyampaikan hadis tersebut dinamakan merawi
(meriwayatkan hadis). Sebuah hadis sampai kepada kita dalam bentuknya yang
sudah terbukukan dalam kitab-kitab hadist, melalui beberapa rowi dan sanad.
Adapun rowi terakhir dalam shohih Bukhori atau dalam shohih Muslim adalah imam
Bukhari atau Imam Muslim. Seorang penyusun atau pengarang, bila hendak
menguatkan suatu hadis yang takhrijkan dari suatu kitab hadist, pada umumnya
membubuhkan nama rowi (terakhirnya) pada akhir matan haditsnya, misalnya:
عن ام المؤمنين عائشة رضي الله عنها قالت: قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم من احدث في امرنا هذا ماليس منه فهورد (متفق عليه)
“warta dari ummul
mu’minin, Aisyah ra. Ujarnya: Rasulullah telah bersabda barangsiapa yang
mengada-adakan sesuatu yang bukan dalam urusan (agama ku)maka ia tertolak.
Ini
berarti bahwa rawi yang terakhir bagi kita adalah bukhari dan muslim.kendati pun jarak kita dengan
beliau-beliau sangat jauh dan kita tidak segenerasi dan tidak pernah bertemu,
namun demikian kita dapat menguji kitab beliau, yang hal ini merupakan sanad
yang kuat bagi kita bersama.[6]
D.
Pengertian Thabaqah
Dalam bahasa thabaqah diartikan yaitu kaum
yang serupa atau sebaya. Sedangkan menurut
istilah adalah suatu kaum yang saling berdekatan usianya maupun sanadnya
atau berdekatan sanadnya saja.
Yang dimaksud dengan berdekatan sanadnya adalah apabila guru-guru mereka adalah guru-guru juga bagi yang lainnya, atau di antara guru-guru tersebut saling berdekatan.
Yang dimaksud dengan berdekatan sanadnya adalah apabila guru-guru mereka adalah guru-guru juga bagi yang lainnya, atau di antara guru-guru tersebut saling berdekatan.
Dalam
pengertian lain thabaqah secara bahasa yaitu hal-hal, martabat-martabat, atau
derajat-derajat. Seperti halnya tarikh, thabaqah juga adalah bagian dari
disiplin ilmu hadits yang berkenaan dengan keadaan perawi hadits. Namun keadaan
yang dimaksud dalam ilmu thabaqah adalah keadaan yang berupa persamaan para
perawi dalam sebuah urusan. Adapun urusan yang dimaksud antara lain:
1.
Bersamaan
hidup dalam satu masa
2.
Bersamaan
tentang umur
3.
Bersamaan
tentang menerima hadits dari syaikh-syaikhnya
4.
Bersamaan
tentang bertemu dengan syaikh-syaikhnya[7]
Adapun thabaqat-thabaqat dalam
ilmu hadits antara lain adalah sebagai berikut:[8]
a.
Thabaqat
Pertama (Shahabat)
Thabaqat pertama
adalah kalangan shahabat, dengan perbedaan kualitas di antara mereka. Nama-nama
shahabat yang banyak meriwayatkan hadits atau yang paling masyhur di antaranya
adalah:
1.
Abu Bakr ash-Shiddiq (w. 13 H)
2.
‘Umar ibn al-Khaththab (w. 23 H)
3.
‘Utsman ibn ‘Affan (w. 35 H)
4.
‘Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H)
b. Thabaqat Kedua
(Kibarut Tabi’in)Thabaqat kedua adalah generasi tabi’in senior.
Di antaranya adalah:
1.
al-Aswad ibn Yazid an-Nakha’i (w. 74 H)
2.
Sa’id ibn al-Musayyib (w. 94 H)
3.
Abu Wail al-Kufi (w. 82 H)
c.
Thabaqat Ketiga (Wustho minat Tabi’in)
Thabaqat ketiga adalah generasi pertengahan
dari tabi’in. Di antaranya adalah:
2.
Dzakwan al-Madani (w. 101 H)
3.
Zaid ibn Aslam (w. 136 H)
d.
Thabaqat
Keempat (Jullu Riwayatihim ‘an Kibarit Tabi’in)
Thabaqat keempat
adalah thabaqat yang banyak meriwayatkan hadits dari kibarut tabi’in. Di
antaranya adalah:
1.
Ismail ibn Abi Khalid (w. 146 H)
2.
Tsabit ibn Aslam (w. 127 H)
3.
Sulaiman ibn Tharkhan at-Taimi (w. 143 H)
e.
Thabaqat Kelima (Shughro minat Tabi’in)
Thabaqat kelima adalah generasi tabi’in junior,
yaitu yang melihat 1 atau 2 orang shahabat, tapi tidak pernah mendengar riwayat
hadits dari mereka. Di antaranya adalah:
1.
Ibrahim an-Nakha’i (w. 96 H)
2.
Ayyub ibn Abi Taimiyyah (w. 131 H)
3.
al-Hakam ibn ‘Utaibah (w. 113 H)
f.
Thabaqat Keenam (‘Aasharul Khamisah)
Thabaqat keenam adalah orang-orang yang hidup
sezaman dengan perawi thabaqat kelimat (tabi’in junior), namun tidak pernah
bertemu dengan shahabat. Di antaranya adalah:
1.
Jarir ibn Hazim (w. 170 H)
2.
Sa’id ibn Abi ‘Arubah (w. 156 H)
3.
Suhail ibn Abi Shalih (w. 138 H)
g.
Thabaqat Ketujuh (Kibaru Atba’it Tabi’in)
Thabaqat ketujuh generasi seniornya para
pengikut tabi’in (atba’ut tabi’in). Di antaranya adalah:
1.
Israil ibn Yunus (w. 160 H)
2.
Zaidah ibn Qudamah (w. 161 H)
3.
Zuhair ibn Mu’awiyah ibn Hudaij (w. 172 H)
h.
Thabaqat Kedelapan (Wustho min Atba’it Tabi’in)
Thabaqat kedelapan adalah generasi pertengahan
dari para pengikut tabi’in. Di antaranya adalah:
1.
Ibrahim ibn Sa’d (w. 185 H)
2.
Ibn ‘Ulayyah (w. 193 H)
3.
Isma’il ibn Ja’far (w. 180 H)
i.
Thabaqat Kesembilan (Shughro min Atba’it
Tabi’in)
Thabaqat kesembilan adalah generasi junior dari
para pengikut tabi’in. Di antaranya adalah:
1.
Adam ibn Abi Iyas (w. 220 H)
2.
Bahz ibn Asad (w. Setelah 200 H)
3.
Hajjaj ibn Muhammad (w. 206 H)
j.
Thabaqat Kesepuluh (Kibarul Akhidzin ‘an
Taba’il Atba’)
Thabaqat kesepuluh adalah thabaqat seniornya orang-orang yang mengambil
hadits dari taba’ al-atba’, dan mereka tidak bertemu tabi’in. Di antaranya
adalah
1.
Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H)
2.
Ahmad ibn Mani’ (w. 244 H)
3.
Ibn Rahuyah al-Marwazi (w. 237 H)
k.
Thabaqat Kesebelas (Wustho minal Akhidzin ‘an
Taba’il Atba’)
Thabaqat kesebelas adalah thabaqat pertengahan
dari orang-orang yang mengambil hadits dari taba’ al-atba’. Di antaranya:
1.
Ishaq ibn Manshur (w. 251 H)
2.
Abu Dawud as-Sijistani (w. 275 H)
3.
Muhammad ibn Isma’il al-Bukhari (w. 256 H)
l.
Thabaqat Kedua Belas (Shigharul Akhidzin ‘an
Taba’il Atba’)
Thabaqat kedua belas adalah thabaqat juniornya orang-orang yang mengambil hadits
dari taba’ al-atba’, sekaligus thabaqat terakhir dari periwayat hadits menurut
al-Hafizh Ibn Hajar. Di antara tokoh yang berada di thabaqat ini adalah:
1.
Ahmad ibn Syu’aib an-Nasai (w. 303 H)
3.
Ibn Majah al-Qazwaini (w. 273 H)
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Pengertian Sanad
Sanad menurut lughah ialah
sesuatu yang kita bersandar kepadanya, baik tembok atau selainnya sedangkan
menurut istilah sanad ialah jalan yang menyampaikan kita kepada matan hadits.
Ringkasnya sanad hadits ialah yang disebut sebelum matan hadits sedangkan
isnad secara lughah ialah menyandarkan sesuatu kepada yang lain.
2.
Pengertian Matan
Matan
menurut lughoh ialah jalan tengah,punggung bumi atau bumi yang keras dan
tinggi. Sedangkan menurut istilah, matan hadis ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang dioper oleh
sanad yang terakhir.
3.
Pengertian
Rowi
Rawi
adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab, apa yang
pernah didengar dan diterima dari seorang guru, bentuk jamak dari lafad rawi
ialah ruwah dan perbuatan menyampaikan hadis tersebut dinamakan merawi
(meriwayatkan hadis).
4.
Pengertian Thabaqah
Dalam bahasa thabaqah diartikan yaitu kaum
yang serupa atau sebaya. Sedangkan menurut
istilah adalah suatu kaum yang saling berdekatan usianya maupun sanadnya
atau berdekatan sanadnya saja.
Dalam pengertian lain thabaqah secara bahasa yaitu hal-hal, martabat-martabat, atau derajat-derajat atau keadaan yang berupa persamaan para perawi dalam sebuah urusan. Adapun urusan yang dimaksud antara lain: Bersamaan hidup dalam satu masa, bersamaan tentang umur, bersamaan tentang menerima hadits dari syaikh-syaikhnya, bersamaan tentang bertemu dengan syaikh-syaikhnya.
Dalam pengertian lain thabaqah secara bahasa yaitu hal-hal, martabat-martabat, atau derajat-derajat atau keadaan yang berupa persamaan para perawi dalam sebuah urusan. Adapun urusan yang dimaksud antara lain: Bersamaan hidup dalam satu masa, bersamaan tentang umur, bersamaan tentang menerima hadits dari syaikh-syaikhnya, bersamaan tentang bertemu dengan syaikh-syaikhnya.
[1] Khusniani rafi’ah, studi ilmu hadits.
(Ponorogo: hadi offset, 2010)hal., 16
[2] M. Salahudin. Ulumul hadits. (Jawa
Barat: Pustaka Setia, 1999)hal., 90-92
[3] Khusniani rafi’ah. studi ilmu hadits.
(Ponorogo: hadi offset, 2010)hal.,15
[4] Muhammad Ujaj. ushul hadits.(Beirut:
dar al-Fikr,tt)hal., 32
[5] M. Salahudin. Ulumul hadits. (Jawa
Barat: Pustaka Setia, 1999)hal., 98
[6] Fathurrahman. Musthalahul hadits.
(Bandung: al-Ma’arif,1974)hal., 29-30.
DAFTAR PUSTAKA
Fathurrahman. Musthalahul Hadits. Bandung:
al-Ma’arif.1974.
Hasan, Qadir. Ilmu
Mushthalah Hadits. Bandung: Diponegoro. 1987.
Rafi’ah, Khusniani. Studi Ilmu Hadits.
Ponorogo: hadi offset. 2010.
Salahudin, Muhammad. Ulumul Hadits. Jawa
Barat: Pustaka Setia, 1999.
Ujaj, Muhammad. Ushul Hadits.Beirut:
dar al-Fikr. tt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar