Makalah

Minggu, 02 Desember 2018

Pengertian Iddah


IDDAH
A.  Pengertian Iddah
Iddah adalah masa menanti yang diwajibkan bagi perempuan yang diceraikan suaminya atau ditinggal mati suaminya. Jadi wanita itu tidak boleh dipinang atau dinikahkan, kecuali sesudah masa idahnya selesai[1].
B.   Waktu lamanya iddah

1.      Perempuan yang sedang hamil, apabila diceraikan atau meninggal dunia suaminya, maka masa iddahnya adalah sampai anak itu lahir dari kandungannya, firman Alloh:
4 àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4
dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (QS: At- Tholaq : 4)
2.      Perempuan yang tidak hamil apabila diceraikan atau meninggal dunia suaminya, maka masa iddahnya adalah 4 bulan 10 hari. Firman Alloh SWT:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur (
orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Seperti Firman Alloh:
tûïÏ%©!$#ur tböq©ùuqtFムöNä3ZÏB tbrâxtƒur %[`ºurør& z`óÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spyèt/ör& 9åkô­r& #ZŽô³tãur ( #sŒÎ*sù z`øón=t/ £`ßgn=y_r& Ÿxsù yy$oYã_ ö/ä3øŠn=tæ $yJŠÏù z`ù=yèsù þÎû £`ÎgÅ¡àÿRr& Å$râ÷êyJø9$$Î/ 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î6yz ÇËÌÍÈ  
234. orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[147] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS: Al-Baqarah : 234)
3.      Perempuan yang dicerai suaminya kalau mempunyai haid, iddahnya adalah tiga kali suci, untuk menghitung tiga kali suci ialah kalau waktu cerai dalam keadaan suci dan selama suci tidak dicampuri oleh suaminya, maka sewaktu suci perceraian itu terhitung satu kali.
4.      Apabila didalam suci waktu perceraiannya telah dicampuri suaminya, maka suci yang pertama dihitung dari sejak sucinya sesudah haid yang pertama sesudah perceraian. Begitu juga perceraian yang terjadi di waktu haid, terhitung tiga kali sucinya dari sucinya sesudah haid yang terjadi sewaktu perceraian itu, firman Alloh:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4 Ÿwur @Ïts £`çlm; br& z`ôJçFõ3tƒ $tB t,n=y{ ª!$# þÎû £`ÎgÏB%tnör& bÎ) £`ä. £`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# 4 £`åkçJs9qãèç/ur ,ymr& £`ÏdÏjŠtÎ/ Îû y7Ï9ºsŒ ÷bÎ) (#ÿrߊ#ur& $[s»n=ô¹Î) 4 £`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3 ª!$#ur îƒÍtã îLìÅ3ym ÇËËÑÈ  
228. wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'[142]. tidak boleh mereka Menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[143]. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. QS. Al- Baqoroh: 228
5.      Perempuan yang dicerai mandul atau sudah lanjut usia dan tidak pernah haid lagi, sehingga tidak mungkin diharapkan akan bisa hamil, maka iddahnya adalah tiga bulan. Firman Alloh:
Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³tƒ z`ÏB ÇÙŠÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö$# £`åkèE£Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts 4 àM»s9'ré&ur ÉA$uH÷qF{$# £`ßgè=y_r& br& z`÷èŸÒtƒ £`ßgn=÷Hxq 4 `tBur È,­Gtƒ ©!$# @yèøgs ¼ã&©! ô`ÏB ¾Ín͐öDr& #ZŽô£ç ÇÍÈ  
4. dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. QS. At-Tholaq: 4
6.      Perempuan yang diceraiakn suaminya sebelum dicampuri maka tidak ada iddahnya. Firman Alloh:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) ÞOçFóss3tR ÏM»oYÏB÷sßJø9$# ¢OèO £`èdqßJçGø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br&  Æèdq¡yJs? $yJsù öNä3s9 £`ÎgøŠn=tæ ô`ÏB ;o£Ïã $pktXrtF÷ès? ( £`èdqãèÏnGyJsù £`èdqãmÎhŽ| ur %[n#uŽ|  WxŠÏHsd ÇÍÒÈ  
49. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah[1225] dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. QS. Al-Ahzab: 49
Adapun perincian dari dari hal-hal diatas adalah sebagai berikut[2]:
a.       Wanita yang harus menjalani masa iddah dalam bentuk hingga melahirkan.
(Far’i) kalau kandungannya ada dua bayi maka iddahnya sampai keluar yang terakhir, (menurut kesepakatan ulama madzhab). Tetapi jika keguguran, maka mereka berbeda pendapat yaitu sebagai berikut:
1.      Imam Hanafi, Syafi’i dan Hambali: wanita tersebut belum keluar dari iddahnya.
2.      Imamiyah dan Maliki: wanita tersebut telah keluar dari iddahnya, sekalipun yang keluar dari rahimnya itu berupa sepotong daging kecil,  selama potongan itu adalah embrio wanita.
Adapun batas maksimal kehamilan ialah:
a.       Menurut Hanafi: 2 tahun
b.      Menurut Syafi’i dan Hambali : 4 tahun
c.       Menurut Maliki: 5 tahun

b.      Iddah 3 hilaliah (berdasarkan perhitungan bulan), yakni bagi wanita yang baligh tetapi tidak pernah haid sama sekali, serta wanita yang menopause.
·         Menurut Maliki : wanita menopause adalah 70 tahun
·         Menurut Hambali dan Hanafi: 50 tahun
·         Menurut Syafi’i: 62 tahun
·         Menurut Imamiyah : 60 tahun (wanita quraisy) dan 50 tahun (wanita non quraisy)
Sedang istri yang telah dicampuri sebelum usianya 9 tahun, menurut imam madzhab sebagai berikut:
·         Menurut Hanafi: wajib menjalani iddah sekalipun dia masih kecil.
·         Menurut Maliki :  dan syafi’i : bagi yang belum kuat (layak) dicampuri maka tidak wajib iddah, tetapi wajib bagi yang sudah bisa dicampuri walaupun belum berusia 9 tahun.
·         Menurut Imamiyah dan Hambali: tidak wajib iddah bagi yang belum berusia 9 tahun sekalipun sudah  kuat dicampuri.

c.       Iddah Quru’ yaitu bagi wanita yang telah mancapai usia 9 tahun, tidak hamil, bukan menopause dan telah mengalami haid[3].
Menurut pendapat ulama Madzhab:
1.      Imamiyah , Maliki dan syafi’i menginterprestasikan quru’ dengan masa suci ( tidak haid)sehingga bila wanita tersebut dicerai pada hari-hari terakhir masa sucinya, maka masa tersebut dihitung sebagai bagian dari masa iddah, yang disempurnakan dengan 2 masa suci sesudahnya.
2.      Hanafi dan Hambali menginterprestasikan dengan masa haid, sehingga wanita tersebut harus melewati 3 kali masa iddah( dalam menyelesaikan masa iddah). Sesudah di talak tidak termasuk masa haid ketika ia ditalak.
C.   Batas Maksimal Iddah
Wanita yang telah dewasa tetapi dia belum pernah haid sama sekali, maka bila ia diceraikan suaminya, iddahnya adalah 3 bulan (menurut ulama Madzhab).  Tetapi bila dia mengalami haid lalu berhenti akibat menyusui tau sakit maka[4]:
·         Menurut Hambali  dan Maliki: iddahnya adalah setahun penuh
·         Menurut Syafi’i:  dalam qoul jadid wanita tersebut selamanya berada dalam masa iddah hingga ia mengalami haid atau memasuki usia menopause dan sesudah itu beriddah selama 3 bulan.
·         Menurut Hanafi: bila ia mengetahui 1 kali haoid, lalu karna sakit atau menyusui, haidnya terputus sama sekali, dan dia tidak lagi mengalami haid, maka ia tidak keluar dari iddahnya sampai dia memasuki masa menopause.
Jadi menurut Syafi’i, Hanafi masa iddah dapat berlanjut selama 40 tahun.
DAFTAR PUSTAKA

Dradjat Zakiyah, dkk,  Ilmu Fikih Jilid II, (Jakarta: IAIN, 1984)
Sabiq Sayid,  Fikih Sunnah Jilid V, ( Bandung: PT Al-Ma’arif)
Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group)



[1] Zakiyah Dradjat, dkk,  Ilmu Fiqih Jilid II ( Jakarta: IAIN, 1984/1985), hlm. 274
[2] Sayid Sabid, Fikih Sunnah Jilid V, ( Bandung: PT Al-Ma’arif), hlm.141
[3] Ibid, hlm.280-281
[4] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, (Jakarta: Lentera,2007), hlm. 468