BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam meriwayatkan suatu hadis tentu memiliki berbagai kriteria agar suatu hadis tersebut dapat diterima dan diamalkan. Jangankan suatu hadis, suatu omongan/ berita yang terjadi di masyarakat saja membutuhkan kebenaran agar suatu berita tersebut dapat diterima dan dibenarkan, apalagi berita tersebut berkaitan dari Nabi Muhammad yang menjadi panutan dalam setiap perbuatannya. Tentu hal ini membutuhkan riwayat yang terpercaya sehingga tidak ada kekeliruan dalam pengamalannya.
Namun demikian, tentu dalam pengelompokannya serta jenis-jenis hadis tersebut sangat beragam, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Demikian pula tingkat kebenaran suatu hadis, ada yang kebenarannya sifatnya Ilmu al-Yaqin yaitu kebenarannya pasti dan sifatnya dharuri sehingga hadis yang masuk pada kebenaran seperti ini disebut juga sebagai hadis mutawatir. Adapula yang tingkat kebenarannya berada dibawahnya yaitu yang kebenarannya masih ambigu terkadang benar tetapi terkadang juga bisa salah hadis ini disebut juga hadis ahad. Dan bahkan adapula yang kedudukannya lebih rendah lagi disebabkan berbagai kecacatan perawi hadis ini masuk kedalam golongan hadis dhaif, begitu seterusnya.
Namun demikian sebenarnya historisitas riwayat pada dasarnya ditentukan oleh kualitas perawi itu sendiri. Sedangkang jumlah perawi dalam setiap tingkatan memang penting, tetapi tidak menentukan historitas dan kepalsuan riwayat tersebut.[1]
Kemudian dalam perkembangannya, bagaimana status hadis tersebut menjadi sumber hukum dalam menetapkan suatu masalah, di sini penulis akan menjabarkan bagaimana hadis mutawatir dan hadis ahad dan kehujannya terhadap ketentuan hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa dan bagaimana hadis mutawatir serta macam-macam hadits mutawatir dan tingkatannya?
2. Bagaima hadits ahad?
3. Bagaimana kehujahan hadits mutawatir dan hadits ahad dan perbedaan ulama dalam menyikapi kedua macam hadits tersebut?
4. Apa yang dimaksud ziyadah thiqat dan macamnya?
5. Bagaimana pembagian hadis dhaif ditinjau dari segi kecacatan perawinya?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits Mutawatir
1. Pengertian
Dalam meriwayatkan sebuah ayat al-Qur’an membutuhkan sahabat-sahabat yang terpercaya dan tentu juga membutuhkan saksi sehingga sebuah surat itu diyakini benar-benar ada. Oleh karena itu, tidaklah cukup hanya seseorang saja. Bahkan dalam sebuah riwayat setiap sahabat yang memiliki bacaan sebuah surat al-Qur’an harus mampu mendatangkan saksi. Begitu pula dalam hadis karena sebagai sumber hukum kedua dalam Islam, dalam periwyatannya tentu membutuhkan kehati-hatian, selain itu pula telah ditegaskan oleh Nabi Muhammad bahwa “barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka persiapkanlah tempat duduknya di neraka”.
Para sahabat sangat berhati-hati dalam memperhatikan sabda Nabi tersebut, sehingga ketika membacakan/ menyampaikan suatu hadis dibutuhkan pula saksinya. Dalam sebuah riwayat ada seorang nenek, ibu dari bapa yang meninggal dunia datang kepada Abu Bakar meminta bagian dari pusaka cucunya. Abu Bakar menerangkan kepada perempuan tua itu: “aku tidak mendapat keterangan dari Qur’an dan sabda Nabi, bahwa engkau mendapat bagian dari harta cucumu itu”. Lalu Abu Bakar bertanya kepada para sahabat Mughirah, lalu Mughirah berkata: aku dengar sabda Nabi: “perempuan itu diberi pusaka seperenam dari harta cucunya”. Abu Bakar lantas tidak serta merta mempercayainya melainkan ia bertanya kembali, adakah engkau memiliki saksi? Di waktu itu berkatalah Muhammad bin Musalmah, yang membenarkan ucapan Mughirah.[2]
Mutawatir dalam bahasa berarti al-Mutatabi (المتتابع) berarti, yang datang kemudian, beriring-iringan, atau beruntun[3]. Secara istilah ada beberapa redaksi pengertian mutawatir, yaitu:
خبر محسوس رواه عدد جم يجيب في العادة احالة اجتماعهم وتواطئهم على الكذب
Artinya: Khabar yang didasarkan pada panca indra yang dikhabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk mengkhabarkan berita itu dengan dusta.[4]
Adapun menurut para ahli sebagaimana dikutip oleh Idri, yaitu sebagai berikut:[5]
a. Menurut al-Thahhan
مارواه عدد كثير تحيل العادة تواطؤهم علي الكذب
Artinya: Hadis yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka sepakat berdusta (tentang hadis yang diriwayatkan).
b. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib
“Hadits yang diriwayatkan sejumlah periwayat yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka sepakat berdusta (tentang hadis yang diriwayatkan) dari sejumlah periwayat dengan jumlah yang sepadan semenjak sanad pertama sampai sanad terakhir dengan syarat jumlah itu tidak kurang pada setiap tingkatan sanadnya”
c. Muhammad Muhammad Abu Syuhbah
“Hadis yang diriwayatkan sejumlah periwayat yang menurut akal sehat dan adat kebiasaan mustahil mereka sepakat berdusta (yang diriwayatkan) dari sejumlah periwayat dengan jumlah yang sepadan semenjak sanad pertama sampai sanad terakhir dengan syarat jumlah itu tidak kurang pada setiap tingkatan sanadnya dan sandaran beritanya berdasarkan sesuatu yang dapat diindra seperti disaksikan, didengar, ataupun sebagainya”
d. Nur al-Din ‘Itr
“Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad. Hadis yang diriwayatkan itu didasarkan pada pengamatan pancaindra”.
e. Shubhi al-Shalih
“Hadis sahih yang diriwayatkan sejumlah periwayat yang menurut akal sehat dan adat kebiasaan mustahil mereka sepakat berdusta (yang diriwayatkan) dari banyak periwayat pada awal, tengah dan akhir sanadnya”
Kalau kita cermati dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hadis mutawatir itu mesti terdapat beberapa hal, di antaranya yaitu a) banyak perawinya; b) menurut akal sehat dan adat mustahil berbuat dusta; c) banyak perawi sama banyak pada semua tingkatan; dan d) sandaran beritanya harus berdasarkan panca indra.
Adapun mengenai berapa banyak jumlah perawi hadis mutawatir dalam tingkatannya, para ulama berbeda pendapat akan hal ini, menurut Abu al-Thayib jumlah perawinya minimal 4 orang, menurut ashab al-Syafi’i menyatakan 5 orang dan ulama lain menyatakan 20 atau 40 orang.[6] Menurut al-Baqilani menetapkan sekurang-kurangnya 5 orang karena jumlah Nabi yang mendapatkan ulul azmi berjumlah 5 orang, sedangkan al-Istikhari menetapkan minimal 10 orang, karena itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian seterusnya sampai ada yang menetapkan 70 orang.[7]
2. Macam-Macam dan Tingkatan Hadis Mutawatir
Menurut sebagian ulama hadis mutawatir di bagi menjadi tiga macam, yakni mutawatir lafdzi, ma’nawi dan amali. Dan sebagian lagi membagi hadis mutawatir hanya pada dua pembagian yakni mutawatir lafdzi dan ma’nawi karena menurut mereka hadis mutawatir amali sebenarnya telah masuk kepada keduanya. Menurut Abdul Majid Khon perbedaan ini tidaklah menjadi persoalan, karena jumlah dapat disingkat menjadi lebih kecil dan dapat diperinci menjadi banyak yang penting substansinya sama.[8]
a. Mutawatir lafdzi
Hadis mutawatir lafdzi, yaituhadis yang diriwayatkan dengan lafadz dan makna yang sama, serta kandungan hukum yang sama, contoh:[9]
من كذب علي فليتبوأ مقعده من النار
Artinya: Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaknya ia siap-siap menduduki tempatnya di api neraka.
b. Mutawatir ma’nawi
Hadis mutawatir ma’nawi, yaitu hadis yang berasal dari berbagai dari berbagai hadis yang diriwayatkan dengan lafadz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan, mempunyai makna umum yang sama. Dengan kata lain, hadis yang maknanya sama tetapi lafadznya tidak.[10] Contoh:
قال أبو موسى مارفع رسول الله صلى الله عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض إبطه في شئ من دعائه إلا في الإستسقاء (رواه البخار ومسلم)
Artinya: Abu Musa al-Asy’ari berkata bahwa Nabi SAW. tidak pernah mengangkat kedua tangannya dalam berdoa hingga Nampak putih kedua ketiaknya kecuali saat melakukan doa dalam shalat istisqa’ (H. R. Bukhari dan Muslim)
c. Mutawatir amali
Hadis mutawatir amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi Saw., kemudian diikuti oleh para Sahabat, kemudian diikuti oleh Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi demi generasi sampai sekarang. Contoh, hadis-hadis Nabi tentang shalat dan jumlah rekaatnya, shalat ‘Id, shalat jenazah, dan sebagainya. segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di kalangan ulama dikategorikan sebagai hadis mutawatir ‘amali.[11]
B. Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk jama’ dari kata wahid yang bererti satu. Jadi, ahad berarti satuan, yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadis wahid/ ahad berarti hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan ke dalam ketegori hadis mutawatir. Dengan kata lain, hadis ahad adalah hadis yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkatan mutawatir.[12]
Ulama ahli hadis membagi hadis ahad menjadi dua, yaitu: Masyhur dan ghairu masyhur. Adapun ghairu masyhur terbagi menjdi dua, yaitu: hadis aziz dan hadis ghiru aziz.[13]
1. Hadis Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti “sesuatu yang sudah tersebar dan popular”.[14] Sedangkan menurut istilah hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih pada setiap tingkatan (thabaqat) pada beberapa tingkatan sanad tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir.[15]
Hadis masyhur memiliki dua pengertian, yaitu secara istilahi dan ghairu istilahi.
a. Masyhur istilahi
مارواه ثلاثة قأكثر في كل طبقة مالم يبلغ حد التواتر
“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga periwayat atau lebih pada tiap thabaqahnya tetapi tidak sampai pada peringkat mutawatir”.[16]
Menurut Muhamma al-Shabagh, sebagaimana dikutip Idri, mendefinisikan hadis masyhur dengan:[17]
خبر جماعة لم يبلغوا في الكثرة مبلغ جماعة المتواتر
”Hadis yang disampaikan oleh orang banyak akan tetapi jumlahnya tidak sebanyak periwayat pada hadis mutawatir”.
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, hadis masyhur adalah:
المشهور ماله طرق محصور بأكثر من اثنين
“Hadis masyhur adalah hadis yang mempunyai jalan sanad yang terbatas lebih dari dua”.[18]
Sebagian ulama berpendapat hadis masyhur sinonim dengan hadis mustafidh dan sebagian ulama lain berpendapat bahwa mustafidh lebih khusus, karena dalam mustafidh disyaratkan dua ujung sanadnya harus sama jumlahnya yakni 3 orang atau lebih. Menurut pendapat kedua ini hadis mustafidh lebih khusus daripada masyhur, karena dipersyaratkan jumlah 3 orang periwayat dari awal sampai akhir sanad.[19] Contoh hadis masyhur:
إن الله لايقبض العلم إنتزاعا ينتزعه من العباد...
Hadis di atas diriwayatkan 3 orang sahabat, yaitu Ibn Amru, Aisyah dan Abu Hurairah. Dengan demikian hadis ini masyhur di tingkat sahabat, karena terdapat 3 orang sahabat yang meriwayatkannya, sekalipun sanad di kalangan tabi’in lebih dari 3 orang. Atau sebaliknya, bisa jadi hadis masyhur di tingkat tabi’in jika perawinya mencapai 3 orang atau lebih tetapi tidak mencapai jumlah mutawatir, sekalipun di tingkat sahabat tidak mencapai masyhur, karena tidak mencapai 3 orang lebih.[20]
b. Masyhur ghairu istilahi
Hadis masyhur sebagaimana dalam definisi di atas disebut hadis masyhur secara istilah (masyhur istilahi). Di kalangan ulama hadis dikenal pula hadis masyhur non istilahi (masyhur ghairu istilahi) disebut juga hadis yang terkenal dalam pembicaraan (ma isytahara ‘ala al-Alsinah), yaitu hadis-hadis yang masyhur (terkenal) di kalangan masyarakat tertentu tanpa harus memenuhi syarat-syarat hadis masyhur menurut ulama hadis.[21]
Oleh karena itu, menurut hadis masyhur ghairu istilahi bisa jadi suatu hadis hanya masyhur di kalangan ulama hadis saja, atau di kalangan ulama fikih saja atau ulama ushul saja, ulama nahwu saja. Berikut beberapa contoh hadis masyhur di berbagai kalangan.[22]
Contoh hadis masyhur di kalangan ahli hadis saja adalah seperti hadis yang berbunyi:
إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قنت شهرا بعد الركوع يدعو على رعل وذكوان
“Bahawasanya Rasulullah Saw. melakukan qunut sesudah ruku’ selama sebulan, mendoakan kaum Ra’l dan kaum Dzakwan”.
Contoh hadis masyhur di kalangan ahli fikih ialah:
أبغض الحلال عند الله الطلاق
“Perkara halal yang paling dibenci Allah ialah thalaq”
Contoh hadis masyhur di kalangan ahli ushul fikih ialah:
رفع عن امتي الخطء والنسيان وما استكرهوا عليه
“Dimaafkan dari umatku perbuatan sebab lalai, lupa dan perbuatan yang dilakukannya sebab dipaksa”.
Contoh hadis masyhur di kalangan ahli nahwu ialah:
نعم العبد سهيب لولم يخف الله لم يعصه
“Sebaik-baik hamba Allah adalah Suhaib, karena seandanya dia tidak takut kepada Allah, dia pun tidak akan mendurhakai-Nya”.
Adapun hukum hadis masyhur baik istilahi maupun ghairu istilahi tidak seluruhnya dinyatakan shahih atau tidak shahih, akan tetapi tergantung kepada hasil penelitian atau pemerikasaan para ulama. Sebagian hadis masyhur ada yang shahih, hasan, dhaif, dan bahkan ada yang maudhu’. Namun, memang diakui bahwa keshahihan hadis masyhur istilahi lebih kuat daripada keshahihan hadis aziz atau gharib sebagaimana yang akan dibahas pada sub bab berikutnya.[23]
2. Hadis Ghairu Masyhur
a. Hadis Aziz
Kata ‘aziz dalam bahasa Arab berasal dari kata: ‘azza- yu’izzu yang berarti sedikit atau jarang dan kata: ‘azza ya’azzu yang berarti kuat dan sangat. Disebut demikian karena demikian karena hadis kategori ini sedikit adanya dan jarang, atau karena kuat dengan adanya sanad yang datang dari jalur lain.[24] Menurut istilah, hadis ‘aziz adalah hadis yang perawinya tidak kurang dari dua atau lebih dalam satu thabaqatnya.[25]
Memperhatikan ta’rif di atas, maka yang disebut hadis aziz itu bukan hanya yang diriwayatkan oleh dua orang rawi saja pada setiap thabaqahnya, tetapi selagi pada salah satu thabaqah didapati dua orang rawi, maka hadis tersebut juga dinamakan hadis ‘aziz.[26] Berikut contoh dari hadis aziz, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Anas dan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah, yang berbunyi:
إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لايؤمن إحدكم حتى اكون احب اليه من والده وولده
“Bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: Tidak sempurna iman salah seorang di antara kamu sekalian sehingga aku lebih disukai olehnya daripada orang tuanya dan anaknya”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Qatadah dan Abdu al-Aziz bin Suhaib dari Anas. Kemudian, hadis ini diriwayatkan oleh Syu’bah dan Said dari Qatadah, dan diriwayatkan oleh Ismail bin Ulaiyyah dan Abdu al-Waris dari Abdu al-Aziz bin Suhaib. Selanjutnya hadis ini diriwayatkan oleh segolongan rawi-rawi hadis dari Qatadah dan Abdu al-Aziz bin Suhaib.[27]
b. Hadis Ghairu Aziz/ gharib
Hadis gharib menurut bahasa berarti al-Munfarid (menyendiri) atau jauh dari kerabatnya (البعيد عن اقاربه).[28] Dalam tradisi ilmu hadis, ia adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun selainnya.[29]
Menurut Ibn Hajar sebagaimana dikutip Noor Sulaiman, hadis gharib adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.[30] Penyendirian rawi tersebut dapat terjadi pada: a) personalianya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan hadis tersebut selain rawi itu sendiri; b) mengenai sifat atau keadaan rawi, artinya sifat atau keadaan rawi-rawi yang lain yang diriwayatkan hadis tersebut.[31]
Dari hal di atas, dapat dikatahui bahwa hadis gharib dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a) hadis gharib Mutlak, ialah hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi pada thabaqat sahabat; b) hadis gharib Nisbi, ialah hadis yang diriwayatkan secara sendirian di tengah-tengah sanad meskipun diriwayatkan oleh banyak periwayat pada thabaqat sahabat. Dalam pengertian lain, hadis gharib nisbi adalah hadis yang kesendiriannya dinisbatkan pada sifat tertentu, meskipun pada dasarnya hadis itu masyhur.[32] Adapun gharib nisbi sendiri terbagi lagi menjadi 3 bagian, yakni: a) muqayyad bi ats-Tsiqah; b) Muqayyad bi al-Balad; c) muqayyad ‘ala ar-Rawi.[33]
C. Kehujahan Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad dan Perbedaan Ulama dalam Menyikapinya
Para ulama dan segenap umat Islam sepakat pendapatnya, bahwa hadis mutawatir memberi faidah ilmu dhoruri, yakni suatu keharusan untuk menerimanya secara bulat seseuatu yang diberitakan oleh hadis mutawatir tersebut, hingga membawa kepada keyakinan yang qath’i (pasti).[34]
Hadis mutawatir, apalagi yang lafdzi, derajatnya sangat tinggi, seimbang dengan al-Qur’an dalam hal qath’i al-Wurudnya, qath’i al-Dalalahnya bagi hadis mutawatir yang muhkam, namun dzanni al-Dalalahnya dalam al-Mutasyabih.[35]
Berikut kehujahan hadis mutawatir menurut sebagian ulama, sebagaimana dikutip oleh Idri, di antaranya:[36]
1. Menurut Muhammad al-Shabbagh, pengetahuan yang disampaikan pada hadis mutawatir, harus bersifat dharuri yang diperoleh dari pengamatan panca indra.
2. Ibnu Taimiyah, orang yang meyakini ke-mutawatiran suatu hadis, wajib memercayai kebenarannya dan mengamalkan sesuai isi kandungannya.
3. Mahmud al-Thahhan, hadis mutawatir bersifat dharuri, yaitu ilmu yang meyakinkan yang mengharuskan manusia memercayai dan membenarkannya secara pasti seperti orang yang menyaksikannya sendiri, tanpa disertai dengan keraguan sedikitpun. Oleh karena itu, hadis mutawatir dapat diterima sebagai hujjah tanpa harus mengkaji para perawinya.
4. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, pada hadis mutawatir tidak dikaji tentang kualitas para perawinya tetapi wajib diamalkan
Jika di atas dijelaskan dan diketahui bahwa hadis mutawatir bersifat dharuri dan wajib diamalakan, maka kehujahan hadis ahad yang sahih dapat dijadikan hujjah yang wajib diamalkan. Pendapat senada diungkapakn oleh Muslim Ibn al-Hajjaj sebagaimana dikutip Idri bahwa hadis ahad boleh diamalkan selama memenuhi persyaratan maqbul dan bahkan hukumnya wajib.[37] Oleh karena itu, hadis ahad memberikan faedah dzanni maksudnya wajib diamalkan kalau sudah diakui akan kesahihannya. Adapun pengamalannya menurut para ulama adalah dalam masalah amaliyah, baik ubudiyah maupun mu’amalah, tidak dalam bidang akidah/ keimanan, karena keimanan/ keyakinan harus ditegakkan atas dasar dalil yang qath’i. Menurut imam Syafi’i sebagaimana dikutip oleh Moh. Anwar, hadis ahad tidak dapat menghapus hukum dari al-Qur’an, karena al-Qur’an adalah mutawatir.[38]
Sedangkan Imam Abu Hanifah mensyaratkan dalam mengamalkan hadis ahad, dengan beberapa syarat, yakni: a) perawri tidak menyalahi apa yang diriwayatkannya, jika menyalahi maka yang diturut adalah pendapatnya, bukan riwayatnya; b) hal yang diriwayatkan itu bukan masalah umum balwa, sebab masalah umum balwa seharusnya diriwayatkan oleh banyak orang; c) riwayat itu tidak bertentangan dengan qiyas.[39]
D. Ziyadah Thiqat dan Macamnya
Secara bahasa ziyadah berarti tambahan, sedangkang secara istilah ilmu hadis ziyadah pada matan adalah tambahan lafadz ataupun kalimat yang terdapat pada matan, tambahan itu dikemukakan oleh periwayat tertentu, sedangkan periwayat lain tidak mengemukakannya.
Adapun macam-macam ziyadah adalah sebagai berikut:
1. Ziyadah yang berasal dari perawi yang tsiqah, tatapi isinya bertentangan dengan yang dikemukakan oleh perowi lainyang sama tsiqahnya, maka ziyadah tersebut ditolak
2. Ziyadah yang berasal dari perawi yang tsiqah dan isinya tidak bertentangan dengan perawi yang sama tsiqahnya, maka ziyadah ini diterima.
3. Ziyadah yang berasal dari perawi yang tsiqah berupa sebuah lafadz yang mengandung arti tertentu, sedangkan para perawi lain yang tsiqah tidak mengemukakannya. Menurut Ibn Shalah beliau tidak mengemukakan penjelasan tentang kedudukan ziyadah ketiga ini.[40]
E. Hadis Dhaif Sebab Cacat Kedhabitan
1. Hadits munkar Vs Hadis Ma’ruf
Kata munkar berasal dari akar kata (أنكر-ينكر-إنكارا) berarti menolak, tidak menerima atau lawan kata dari iqrar (mengakui/ menerima). Cacat pada perawi itu membuat tertolak dan diingkarinya.[41] Di kalangan ulama hadis, hadis munkae didefinisikan dengan: a) Hadis yang dalam sanadnya terdapat periwayat yang mengalami kekeliruan yang parah, banyak kesalahan, dan pernah berbuat fasik; b) Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang dhaif bertentangan dengan riwayat periwayat yang tsiqah.[42] Contoh:
صائم رمضان في السفر كالمفطر في الحضر
“Seorang puasa ramadhan dalam perjalanan seperti seorang berbuka dalam tempat tinggalnya”
Hadis di atas munkar karena periwayatan Usamah bin Zaid al-Madani secara marfu’ (dari Rasulullah), bertentangan periwayatan Ibn Abi dzi’bin yang tsiqah, menurutnya hadis di atas mauquf pada Abdurrahman bin Auf.[43]
Kalau di atas menjelaskan hadis munkar maka sebagai perimbangannya akan dijelaskan hadis ma’ruf, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang terpercaya, yang berbeda dengan riwayat rawi yang dhaif. Perbedaan hadis munkar dan ma’ruf adalah apabila datang dari rawi yang terpercaya disebut hadis ma’ruf, dan apabila datang dari rawi yang tidak terpercaya (dhaif ) maka disebut hadis munkar.[44]
Berikut contoh hadis munkar dan hadis ma’ruf, ialah yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim, dari riwayat Hubaiyyib bin Habib, saudara Hamzah al-Zayyat dari Abu Ishaq dari al-Aizar bin Hurais dari Ibn Abbas dari Nabi SAW. bersabda:
من اقام الصلاة واتى الزكاة وحج وصام وقرى الضيف دخل الجنة
“Barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan haji, berpuasa dan menjamu tamu maka ia masuk surga”.
Abu Hatim berpendapat, hadis tersebut munkar, karena dalam riwayat lain hadis tersebut diriwayatkan oleh orang-orang terpercaya yang meriwayatkannya dari jalan Abu Ishaq dengan jalan mauquf. Dan riwayat inilah yang menjadikannya sebagai hadis ma’ruf. Sebab Hubaiyyib adalah rawi yang tidak terpercaya, sehingga membuat kedua riwayat itu berbeda, namun dengan riwayatnya itu justru telah membuat hadis ini menjadi ma’ruf. Oleh karena itu, jika rawinya terpercaya maka dikatakan hadis ma’ruf sedangkang yang tidak terpercaya maka dikatakan munkar.[45]
2. Muthorrib
Kata muthorrib berasal dari akar kata (إضرب-يضطرب-إضطرابا فهو مضطرب) yang berarti goncang dan bergetar. Kegoncangan suatu hadis karena terjadi kontra antara satu hadis dengan hadis lain, berkualitas sama dan tidak dapat dipecahkan secara ilmiah. Adapun menurut istilah adalah hadis yang diriwayatkan pada beberapa segi yang berbeda, tetapi sama dalam kualitasnya.[46] Jadi, kriteria hadis mutharrib adalah a) adanya kekacauan riwayat hadis dan tidak mungkin dilakukan kompromi antara keduanya; b) adanya kesamaan kekuatan riwayat sehingga tidak mungkin dilakukan tarjih antara keduanya.[47] Contoh hadis mutharrib:
شيبتني هود وأخواتها
“Membuat uban rambutku Surah Hud dan saudara-saudaranya” (HR. Tirmidzi).
Hadis ini mutharrib, karena hanya diriwayatkan melalui Abu Ishaq dan diperselisihkan dalam sekitar 10 segi masalah. Di antara mereka ada yang meriwayatkannya secara mursal dan ada yang mausul. Di antara mereka ada yang menjadikannya dari musnad Abi Bakar, musnad Aisyah, musnad Sa’ad dan lain-lain. Semua tsiqah tetapi tidak dapat dikompromikan dan tidak dapat di tarjih.[48]
3. Maqlub
Maqlub berasal dari akar kata (قلب-يقلب-قلبا فهو مقلوب) berarti mengubah, mengganti, berpindah dan atau membalik. Secara istilah hadis maqlub adalah hadis yang terbalik (redaksi) baik pada sanad atau pada matan. Hadis maqlub adalah hadis yang terbalik susunan kalimatnya tidak sesuai dengan susunan yang semestinya, terkadang mendahulukan yang seharusnya diakhirkan atau sebaliknya, atau mengganti kata lain dengan tujuan tertentu.[49] Dari hal ini, diketahui bahwa hadis maqlub terbagi menjadi dua, yaitu: a) Hadis maqlub pada matan; b) Hadis maqlub pada sanad.[50] Salah satu contoh hadis maqlub pada matan sebagai berikut:[51]
فإذا أنأ بالنبي صلى الله عليه وسلم جالسا على مقعدته مستقبل القبلة مستدبر الشام
“Maka ketika itu aku bersama Nabi SAW. beliau duduk di atas bangku menghadap kiblat dan membelakangi syam”
Hadis di atas di maqlubkan menjadi:
مستقبل الشام مستدبر القبلة
Menghadap Syam dan membelakangi kiblat.
4. Mudarraj
Mudraj berasal dari kata (أدرج-يدرج-إدراجا فهو مدرج) yang berarti memasukkan atau menghimpun dan atau menyisipkan.[52] Secara istilah, mudraj adalah hadis yang bentuk bentuk sanadnya diubah atau ke dalam matannya dimasukkan sesuatu jata atau kalimat yang sebetulnya bukan bagian dari hadis tersebut tanpa ada tanda pemisah.[53] Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa hadis mudraj memiliki dua bentuk, yakni mudraj pada sanad dan mudraj pada matan. Mudraj dari segi matan bisa jadi, berada di awal, di tengah maupun di akhir matan. Berikut contoh hadis mudraj pada awal matan, hadis riwayat al-Khatib dari Abi Qathan dan Syababah dari Syu’bah dari Muhammad bin Zayad dari Abu Hurairah berkata Rasulullah SAW:[54]
أسبغوا الوضوء ويل للأعقاب من النار
“Sempurnakanlah wudlu, celaka bagi beberapa tumit kaki dari ancaman api neraka”.
Kata “أسبغوا الوضوء” adalah mudraj (sisipan) dari perkataan Abu Hurairah sebagaimana periwayatan al-Bukhari dari Adam dari Syu’bah dari Muhammad bin Zayad dari Abu Hurairah berkata:
أسبغوا الوضوء فإن أبالقسيم صلى الله عليه وسلم قال: ويل للأعقاب من النار
Sempurnakanlah wudlu, maka sesungguhnya Aba al-Qasim SAW. bersabda: “celaka bagi beberapa tumit kaki dari ancaman api neraka”.
5. Mushohhaf
Secara bahasa berasal dari kata (صحف-ِ- تصحيفا فهو مصحف) yang berarti salah baca tulisan (sahifah). Kesalahan baca ini bisa jadi dikarenakan salah melihat atau salah mendengar.[55] Istilah tashhif (mushahhaf) dimaksudkan sebagai tinjauan kesalahan dari segi huruf yang terbatas pada sisi fonim, yaitu huruf-huruf yang bertitik.[56] Contoh hadis mushahhaf sebagai berikut:[57]
من صام رمضان وأتبعه ستا من شوال كان كصوم الدهر
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan diikutinya dengan enam hari dari bulan syawal, maka ia sama dengan berpuasa satu tahun”.
Hadis ini ditashhifkan oleh Abu Bakar Ash-Shuli dengan ungkapan:
من صام رمضان وأتبعه شيئا من شوال كان كصوم الدهر
6. Muallal
Mu’allal secara bahasa berasal dari kata (علل-يعلل-تعليلا فهو معلل) berasal dari kata ‘illah (علة) yang berarti al-Maradh (penyakit). Adapun secara istilah hadis mu’allal adalah hadis yang dilihat di dalamnya terdapat ‘illah yang membuat cacat kesahihan hadis, padahal lahirnya selamat daripadanya.[58]
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa kriteria ‘illah adalah adanya cacat yang tersembunyi dan cacat itu mengurangi atau menghilangkan kesahihan suatu hadis. Jika cacat itu tidak tersembunyi dan tidak mengurangi keabsahan suatu hadis tidak disebut ‘illah.[59] Contoh hadis mu’allal:
كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا اراد الحاجة لم يرفع ثوبه حت يدنو من الارض
“Adalah Nabi SAW ketika hendak hajat tidak mengangkat kakinya sehingga dekat dengan tanah”.
Hadis di atas lahirnya shahih karena semua perawi dalam sanad tsiqah, tetapi al-A’masy tidak mendengar dari Annas bin Malik. Ibnu al-Madini mengatakan, bahwa al-A’masy tidak mendengar dari Annas bin Malik. Dia melihatnya di Mekkah shalat di belakang makam Ibrahim.[60]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadis mutawatir khabar yang didasarkan pada panca indra yang dikhabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka bersepakat untuk mengkhabarkan berita itu dengan dusta. Dalam pembagiannya hadis mutawatir terbagi menjadi tiga, yaitu: mutawatir lafdzi, mutawatir maknawi dan mutawatir amali.
Berbeda dengan hadis mutawatir, hadis ahad adalah yang diriwayatkan oleh seorang perawi atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan ke dalam ketegori hadis mutawatir. Dalam pembagiannya hadis ahad terbagi menjadi dua, yaitu: hadis Masyhur dan hadis ghairu masyhur, kemudian hadis masyur sendiri terdapat dua macam, yakni hadis aziz dan ghairu aziz/ gharib.
Para ulama dan segenap umat Islam sepakat pendapatnya, bahwa hadis mutawatir memberi faidah ilmu dhoruri, yakni suatu keharusan untuk menerimanya secara bulat seseuatu yang diberitakan oleh hadis mutawatir tersebut, hingga membawa kepada keyakinan yang qath’i (pasti). Sedangkan hadis ahad berpredikat dzanni dan dalam pengamalannya memiliki syarat tertentu. Kemudian dalam periwayatan hadis terdapat istilah ziyadah tsiqah, maksudnya adalah tambahan tsiqah pada perawi.
Selanjutnya setelah mengetahui kriteria hadis darisegi kuantitasnya, kemudian dari segi kualitas terdapat berbagai macam hadis, salah satunya yaitu hadis ditinjau dari segi kedhabitan perawinya, di sini penulis hanya membahas sebagiannya saja di antaranya: hadits munkar, muthorrib, maqlub, mudarraj, mushohhaf, muallal. Adapun lawan dari munkar sendiri adalah hadis ma’ruf.
B. Saran
Demikian pemaparan makalah yang dapat dijelaskan oleh penulis, dan mungkin dalam penyampaiannya tentu masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, adany kritik dan saran yang membangun selalu penulis harapkan guna kesempurnaan dan perbaikan makalah di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Kamaruddin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. Jakarta: PT Mizan Publika, 2009
Aziz, Mahmud dan Mahmud Yunus, Ilmu Musthalah Hadis. Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1991.
Ad, Endang Soetari, Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah. Bandung: CV. Mimbar Pustaka, 2008.
al-Asqalani Ahmad Ibn Hajar, Syarh Nukhbat al-Fikr fii Musthalah Ahli al-Hadis. Damaskus: Maktabah al-Ghazali, 1990.
al-Maliki, Muhammad Alawi, Ilmu Ushul Hadis. Terj. Adnan Qohar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Anwar, Moh., Ilmu Mushthalah Hadits. Surabaya: Al-Ikhlas, tt.
Idri, Studi Hadis. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Khon, Abdul Majid, Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2007.
PL, M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press, 2008.
Syekhu, Metode dalam Kajian Matan Hadis, https://www.google.co.id/amp/s/jaringanskripsi.wordpress.com/2009/09/27/metode-perbandingan-dalam-kajian-matan-hadis/amp/. Diakses 14 oktober 2018.
![]() |
[1] Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. (Jakarta: PT Mizan Publika, 2009), 47.
[2] Mahmud Aziz dan Mahmud Yunus, Ilmu Musthalah Hadis. (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1991), 17.
[3] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis. (Jakarta: Amzah, 2007), 131.
[4] Endang Soetari Ad, Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah. (Bandung: CV. Mimbar Pustaka, 2008), 113-114.
[5] Idri, Studi Hadis. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 130-132.
[6] Endang Soetari Ad, Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah., 114.
[7] M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), 87.
[8] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis., 134.
[9] M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits, 88.
[10] Ibid., 88-89.
[11] Ibid., 89.
[12] Ibid., 90.
[13] Ibid., 90.
[14] Ibid., 90.
[15] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis., 139.
[16] Idri, Studi Hadis., 142.
[17] Ibid., 143.
[18] Ahmad Ibn Hajar al-Asqalani, Syarh Nukhbat al-Fikr fii Musthalah Ahli al-Hadis. (Damaskus: Maktabah al-Ghazali, 1990), 14.
[19] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis., 139-140.
[20] Ibid., 139
[21] Idri, Studi Hadis., 143.
[22] Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis. Terj. Adnan Qohar. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 87-88.
[23] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis., 141.
[24] Idri, Studi Hadis., 147.
[25] Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis., 83.
[26] Endang Soetari Ad, Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah., 120.
[27] Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis., 84.
[28] Idri, Studi Hadis., 149.
[29] M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits., 95.
[30] M. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits., 95.
[31] Endang Soetari Ad, Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah., 122.
[32] Idri, Studi Hadis., 150.
[33] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis., 145.
[34] Endang Soetari Ad, Ilmu Hadits Kajian Riwayah dan Dirayah., 116.
[35] Ibid., 116.
[36] Idri, Studi Hadis., 139-140.
[37] Ibid., 153-154.
[38] Moh. Anwar, Ilmu Mushthalah Hadits. (Surabaya: Al-Ikhlas, tt), 31.
[39] Ibid., 31.
[40] Syekhu, Metode dalam Kajian Matan Hadis, https://www.google.co.id/amp/s/jaringanskripsi.wordpress.com/2009/09/27/metode-perbandingan-dalam-kajian-matan-hadis/amp/. Diakses 14 oktober 2018.
[41] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis., 188.
[42] Idri, Studi Hadis., 208.
[43] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis., 188.
[44] Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis., 112.
[45] Ibid., 113.
[46] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis., 194.
[47] Idri, Studi Hadis., 231.
[48] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis., 195.
[49] Ibid., 193.
[50] Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis., 114.
[51] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis., 193-194.
[52] Ibid., 191.
[53] Idri, Studi Hadis., 215.
[54] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis., 192.
[55] Ibid., 195.
[56] Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis., 130.
[57] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis., 196.
[58] Ibid., 189.
[59] Ibid., 189.
[60] Ibid., 190.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar