BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam meriwayatkan suatu hadis tentu
memiliki berbagai kriteria agar suatu hadis tersebut dapat diterima dan
diamalkan. Jangankan suatu hadis, suatu omongan/ berita yang terjadi di
masyarakat saja membutuhkan kebenaran agar suatu berita tersebut dapat diterima
dan dibenarkan, apalagi berita tersebut berkaitan dari Nabi Muhammad yang
menjadi panutan dalam setiap perbuatannya. Tentu hal ini membutuhkan riwayat
yang terpercaya sehingga tidak ada kekeliruan dalam pengamalannya.
Namun demikian, tentu dalam pengelompokannya
serta jenis-jenis hadis tersebut sangat beragam, baik dari segi kuantitas
maupun kualitas. Demikian pula tingkat kebenaran suatu hadis, ada yang
kebenarannya sifatnya Ilmu al-Yaqin yaitu kebenarannya pasti dan
sifatnya dharuri sehingga hadis yang masuk pada kebenaran seperti ini disebut
juga sebagai hadis mutawatir. Adapula yang tingkat kebenarannya berada
dibawahnya yaitu yang kebenarannya masih ambigu terkadang benar tetapi terkadang
juga bisa salah hadis ini disebut juga hadis ahad. Dan bahkan adapula yang
kedudukannya lebih rendah lagi disebabkan berbagai kecacatan perawi hadis ini
masuk kedalam golongan hadis dhaif, begitu seterusnya.
Namun demikian sebenarnya
historisitas riwayat pada dasarnya ditentukan oleh kualitas perawi itu sendiri.
Sedangkang jumlah perawi dalam setiap tingkatan memang penting, tetapi tidak
menentukan historitas dan kepalsuan riwayat tersebut.
Kemudian dalam perkembangannya,
bagaimana status hadis tersebut menjadi sumber hukum dalam menetapkan suatu
masalah, di sini penulis akan menjabarkan bagaimana hadis mutawatir dan hadis
ahad dan kehujannya terhadap ketentuan hukum Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
dan bagaimana hadis mutawatir serta macam-macam hadits mutawatir dan
tingkatannya?
2.
Bagaima
hadits ahad?
3.
Bagaimana
kehujahan hadits mutawatir dan hadits ahad dan perbedaan ulama dalam menyikapi
kedua macam hadits tersebut?
4.
Apa
yang dimaksud ziyadah thiqat dan macamnya?
5.
Bagaimana
pembagian hadis dhaif ditinjau dari segi kecacatan perawinya?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadits Mutawatir
1.
Pengertian
Dalam meriwayatkan sebuah ayat al-Qur’an membutuhkan
sahabat-sahabat yang terpercaya dan tentu juga membutuhkan saksi sehingga
sebuah surat itu diyakini benar-benar ada. Oleh karena itu, tidaklah cukup
hanya seseorang saja. Bahkan dalam sebuah riwayat setiap sahabat yang memiliki
bacaan sebuah surat al-Qur’an harus mampu mendatangkan saksi. Begitu pula dalam
hadis karena sebagai sumber hukum kedua dalam Islam, dalam periwyatannya tentu
membutuhkan kehati-hatian, selain itu pula telah ditegaskan oleh Nabi Muhammad
bahwa “barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka
persiapkanlah tempat duduknya di neraka”.
Para sahabat sangat berhati-hati dalam memperhatikan sabda Nabi
tersebut, sehingga ketika membacakan/ menyampaikan suatu hadis dibutuhkan pula
saksinya. Dalam sebuah riwayat ada seorang nenek, ibu dari bapa yang meninggal
dunia datang kepada Abu Bakar meminta bagian dari pusaka cucunya. Abu Bakar
menerangkan kepada perempuan tua itu: “aku tidak mendapat keterangan dari
Qur’an dan sabda Nabi, bahwa engkau mendapat bagian dari harta cucumu itu”.
Lalu Abu Bakar bertanya kepada para sahabat Mughirah, lalu Mughirah berkata: aku
dengar sabda Nabi: “perempuan itu diberi pusaka seperenam dari harta
cucunya”. Abu Bakar lantas tidak serta merta mempercayainya melainkan ia
bertanya kembali, adakah engkau memiliki saksi? Di waktu itu berkatalah
Muhammad bin Musalmah, yang membenarkan
ucapan Mughirah.
Mutawatir dalam bahasa berarti al-Mutatabi (المتتابع) berarti, yang datang kemudian,
beriring-iringan, atau beruntun.
Secara istilah ada beberapa redaksi pengertian mutawatir, yaitu:
خبر
محسوس رواه عدد جم يجيب في العادة احالة اجتماعهم وتواطئهم على الكذب
Artinya: Khabar yang
didasarkan pada panca indra yang dikhabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil
menurut adat mereka bersepakat untuk mengkhabarkan berita itu dengan dusta.
Adapun menurut para ahli sebagaimana dikutip oleh Idri, yaitu
sebagai berikut:
a.
Menurut
al-Thahhan
مارواه
عدد كثير تحيل العادة تواطؤهم علي الكذب
Artinya: Hadis yang
diriwayatkan oleh banyak periwayat yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka
sepakat berdusta (tentang hadis yang diriwayatkan).
b.
Muhammad
‘Ajjaj al-Khathib
“Hadits
yang diriwayatkan sejumlah periwayat yang menurut adat kebiasaan mustahil
mereka sepakat berdusta (tentang hadis yang diriwayatkan) dari sejumlah
periwayat dengan jumlah yang sepadan semenjak sanad pertama sampai sanad
terakhir dengan syarat jumlah itu tidak kurang pada setiap tingkatan sanadnya”
c.
Muhammad
Muhammad Abu Syuhbah
“Hadis
yang diriwayatkan sejumlah periwayat yang menurut akal sehat dan adat kebiasaan
mustahil mereka sepakat berdusta (yang diriwayatkan) dari sejumlah periwayat dengan
jumlah yang sepadan semenjak sanad pertama sampai sanad terakhir dengan syarat
jumlah itu tidak kurang pada setiap tingkatan sanadnya dan sandaran beritanya
berdasarkan sesuatu yang dapat diindra seperti disaksikan, didengar, ataupun
sebagainya”
d.
Nur
al-Din ‘Itr
“Hadis
yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang tidak mungkin mereka sepakat
untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad. Hadis yang diriwayatkan
itu didasarkan pada pengamatan pancaindra”.
e.
Shubhi
al-Shalih
“Hadis
sahih yang diriwayatkan sejumlah periwayat yang menurut akal sehat dan adat
kebiasaan mustahil mereka sepakat berdusta (yang diriwayatkan) dari banyak
periwayat pada awal, tengah dan akhir sanadnya”
Kalau kita cermati dari berbagai pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa hadis mutawatir itu mesti terdapat beberapa hal, di antaranya yaitu a)
banyak perawinya; b) menurut akal sehat dan adat mustahil berbuat dusta; c)
banyak perawi sama banyak pada semua tingkatan; dan d) sandaran beritanya harus
berdasarkan panca indra.
Adapun mengenai berapa banyak jumlah perawi hadis mutawatir dalam
tingkatannya, para ulama berbeda pendapat akan hal ini, menurut Abu al-Thayib
jumlah perawinya minimal 4 orang, menurut ashab al-Syafi’i menyatakan 5 orang
dan ulama lain menyatakan 20 atau 40 orang.
Menurut al-Baqilani menetapkan sekurang-kurangnya 5 orang karena jumlah Nabi
yang mendapatkan ulul azmi berjumlah 5 orang, sedangkan al-Istikhari menetapkan
minimal 10 orang, karena itu merupakan awal bilangan banyak. Demikian
seterusnya sampai ada yang menetapkan 70 orang.
2.
Macam-Macam dan Tingkatan Hadis Mutawatir
Menurut sebagian ulama hadis
mutawatir di bagi menjadi tiga macam, yakni mutawatir lafdzi, ma’nawi dan
amali. Dan sebagian lagi membagi hadis mutawatir hanya pada dua pembagian
yakni mutawatir lafdzi dan ma’nawi karena menurut mereka hadis
mutawatir amali sebenarnya telah masuk kepada keduanya. Menurut Abdul
Majid Khon perbedaan ini tidaklah menjadi persoalan, karena jumlah dapat
disingkat menjadi lebih kecil dan dapat diperinci menjadi banyak yang penting
substansinya sama.
a.
Mutawatir
lafdzi
Hadis mutawatir lafdzi, yaituhadis yang diriwayatkan dengan lafadz
dan makna yang sama, serta kandungan hukum yang sama, contoh:
من
كذب علي فليتبوأ مقعده من النار
Artinya: Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaknya ia siap-siap menduduki tempatnya di api neraka.
b.
Mutawatir
ma’nawi
Hadis mutawatir ma’nawi,
yaitu hadis yang berasal dari berbagai dari berbagai hadis yang
diriwayatkan dengan lafadz yang berbeda-beda, tetapi jika disimpulkan,
mempunyai makna umum yang sama. Dengan kata lain, hadis yang maknanya sama
tetapi lafadznya tidak.
Contoh:
قال
أبو موسى مارفع رسول الله صلى الله عليه وسلم يديه حتى رؤي بياض إبطه في شئ من
دعائه إلا في الإستسقاء (رواه البخار ومسلم)
Artinya: Abu Musa al-Asy’ari berkata bahwa Nabi SAW. tidak
pernah mengangkat kedua tangannya dalam berdoa hingga Nampak putih kedua
ketiaknya kecuali saat melakukan doa dalam shalat istisqa’ (H. R. Bukhari
dan Muslim)
c.
Mutawatir
amali
Hadis mutawatir amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan
oleh Nabi Saw., kemudian diikuti oleh para Sahabat, kemudian diikuti oleh Tabi’in,
dan seterusnya, diikuti oleh generasi demi generasi sampai sekarang. Contoh,
hadis-hadis Nabi tentang shalat dan jumlah rekaatnya, shalat ‘Id, shalat
jenazah, dan sebagainya. segala amal ibadah yang sudah menjadi ijma’ di
kalangan ulama dikategorikan sebagai hadis mutawatir ‘amali.
B.
Hadits Ahad
Kata ahad merupakan bentuk
jama’ dari kata wahid yang bererti satu. Jadi, ahad berarti satuan,
yakni angka bilangan dari satu sampai sembilan. Menurut istilah hadis wahid/
ahad berarti hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi atau dua orang atau
lebih akan tetapi belum cukup syarat untuk dimasukkan ke dalam ketegori hadis
mutawatir. Dengan kata lain, hadis ahad adalah hadis yang jumlah perawinya
tidak sampai pada tingkatan mutawatir.
Ulama ahli hadis membagi hadis ahad
menjadi dua, yaitu: Masyhur dan ghairu masyhur. Adapun
ghairu masyhur terbagi menjdi dua, yaitu: hadis aziz dan hadis ghiru
aziz.
1.
Hadis
Masyhur
Menurut bahasa, masyhur berarti
“sesuatu yang sudah tersebar dan popular”.
Sedangkan menurut istilah hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh
tiga orang atau lebih pada setiap tingkatan (thabaqat) pada beberapa tingkatan
sanad tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir.
Hadis masyhur memiliki dua
pengertian, yaitu secara istilahi dan ghairu istilahi.
a.
Masyhur
istilahi
مارواه
ثلاثة قأكثر في كل طبقة مالم يبلغ حد التواتر
“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga
periwayat atau lebih pada tiap thabaqahnya tetapi tidak sampai pada peringkat mutawatir”.
Menurut Muhamma al-Shabagh,
sebagaimana dikutip Idri, mendefinisikan hadis masyhur dengan:
خبر
جماعة لم يبلغوا في الكثرة مبلغ جماعة المتواتر
”Hadis yang disampaikan
oleh orang banyak akan tetapi jumlahnya tidak sebanyak periwayat pada hadis mutawatir”.
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, hadis
masyhur adalah:
المشهور
ماله طرق محصور بأكثر من اثنين
“Hadis masyhur adalah hadis yang mempunyai
jalan sanad yang terbatas lebih dari dua”.
Sebagian ulama berpendapat hadis
masyhur sinonim dengan hadis mustafidh dan sebagian ulama lain berpendapat
bahwa mustafidh lebih khusus, karena dalam mustafidh disyaratkan dua ujung
sanadnya harus sama jumlahnya yakni 3 orang atau lebih. Menurut pendapat kedua
ini hadis mustafidh lebih khusus daripada masyhur, karena dipersyaratkan jumlah
3 orang periwayat dari awal sampai akhir sanad.
Contoh hadis masyhur:
إن
الله لايقبض العلم إنتزاعا ينتزعه من العباد...
Hadis di atas diriwayatkan 3 orang
sahabat, yaitu Ibn Amru, Aisyah dan Abu Hurairah. Dengan demikian hadis ini masyhur di tingkat
sahabat, karena terdapat 3 orang sahabat yang meriwayatkannya, sekalipun sanad
di kalangan tabi’in lebih dari 3 orang. Atau sebaliknya, bisa jadi hadis
masyhur di tingkat tabi’in jika perawinya mencapai 3 orang atau lebih tetapi
tidak mencapai jumlah mutawatir, sekalipun di tingkat sahabat tidak mencapai
masyhur, karena tidak mencapai 3 orang lebih.
b.
Masyhur
ghairu istilahi
Hadis masyhur
sebagaimana dalam definisi di atas disebut hadis masyhur secara istilah (masyhur
istilahi). Di kalangan ulama hadis dikenal pula hadis masyhur non istilahi (masyhur ghairu istilahi)
disebut juga hadis yang terkenal dalam
pembicaraan (ma isytahara ‘ala al-Alsinah), yaitu hadis-hadis yang
masyhur (terkenal) di kalangan masyarakat tertentu tanpa harus memenuhi
syarat-syarat hadis masyhur menurut ulama hadis.
Oleh karena
itu, menurut hadis masyhur ghairu istilahi bisa jadi suatu hadis hanya masyhur
di kalangan ulama hadis saja, atau di kalangan ulama fikih saja atau ulama
ushul saja, ulama nahwu saja. Berikut beberapa contoh hadis masyhur di berbagai
kalangan.
Contoh hadis
masyhur di kalangan ahli hadis saja adalah seperti hadis yang berbunyi:
إن رسول الله
صلى الله عليه وسلم قنت شهرا بعد الركوع يدعو على رعل وذكوان
“Bahawasanya Rasulullah Saw. melakukan
qunut sesudah ruku’ selama sebulan, mendoakan kaum Ra’l dan kaum Dzakwan”.
Contoh hadis masyhur di kalangan ahli fikih ialah:
أبغض
الحلال عند الله الطلاق
“Perkara halal yang
paling dibenci Allah ialah thalaq”
Contoh hadis
masyhur di kalangan ahli ushul fikih ialah:
رفع
عن امتي الخطء والنسيان وما استكرهوا عليه
“Dimaafkan dari umatku perbuatan sebab lalai, lupa dan
perbuatan yang dilakukannya sebab dipaksa”.
Contoh hadis masyhur di kalangan ahli nahwu ialah:
نعم
العبد سهيب لولم يخف الله لم يعصه
“Sebaik-baik hamba Allah adalah Suhaib, karena seandanya dia
tidak takut kepada Allah, dia pun tidak akan mendurhakai-Nya”.
Adapun hukum hadis masyhur baik istilahi maupun ghairu istilahi
tidak seluruhnya dinyatakan shahih atau tidak shahih, akan tetapi tergantung
kepada hasil penelitian atau pemerikasaan para ulama. Sebagian hadis masyhur
ada yang shahih, hasan, dhaif, dan bahkan ada yang maudhu’. Namun, memang
diakui bahwa keshahihan hadis masyhur istilahi lebih kuat daripada keshahihan
hadis aziz atau gharib sebagaimana yang akan dibahas pada sub bab berikutnya.
2.
Hadis
Ghairu Masyhur
a.
Hadis
Aziz
Kata ‘aziz dalam bahasa Arab berasal
dari kata: ‘azza- yu’izzu yang berarti sedikit atau jarang dan kata: ‘azza
ya’azzu yang berarti kuat dan sangat. Disebut demikian karena demikian
karena hadis kategori ini sedikit adanya dan jarang, atau karena kuat dengan
adanya sanad yang datang dari jalur lain.
Menurut istilah, hadis ‘aziz adalah hadis yang perawinya tidak kurang dari
dua atau lebih dalam satu thabaqatnya.
Memperhatikan ta’rif di atas, maka
yang disebut hadis aziz itu bukan hanya yang diriwayatkan oleh dua orang rawi
saja pada setiap thabaqahnya, tetapi selagi pada salah satu thabaqah didapati
dua orang rawi, maka hadis tersebut juga dinamakan hadis ‘aziz.
Berikut contoh dari hadis aziz, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
dari Anas dan hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah, yang
berbunyi:
إن
رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: لايؤمن إحدكم حتى اكون احب اليه من والده وولده
“Bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: Tidak sempurna iman salah
seorang di antara kamu sekalian sehingga aku lebih disukai olehnya daripada
orang tuanya dan anaknya”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Qatadah dan Abdu al-Aziz bin Suhaib
dari Anas. Kemudian, hadis ini diriwayatkan oleh Syu’bah dan Said dari Qatadah,
dan diriwayatkan oleh Ismail bin Ulaiyyah dan Abdu al-Waris dari Abdu al-Aziz
bin Suhaib. Selanjutnya hadis ini diriwayatkan oleh segolongan rawi-rawi hadis
dari Qatadah dan Abdu al-Aziz bin Suhaib.
b.
Hadis
Ghairu Aziz/ gharib
Hadis gharib menurut bahasa berarti
al-Munfarid (menyendiri) atau jauh dari kerabatnya (البعيد عن اقاربه).
Dalam tradisi ilmu hadis, ia adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi
yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu imamnya maupun
selainnya.
Menurut Ibn Hajar sebagaimana
dikutip Noor Sulaiman, hadis gharib adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat
seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya, di mana saja penyendirian dalam
sanad itu terjadi.
Penyendirian rawi tersebut dapat terjadi pada: a) personalianya, yakni tidak
ada orang lain yang meriwayatkan hadis tersebut selain rawi itu sendiri; b)
mengenai sifat atau keadaan rawi, artinya sifat atau keadaan rawi-rawi yang
lain yang diriwayatkan hadis tersebut.
Dari hal di atas, dapat dikatahui
bahwa hadis gharib dapat dibagi menjadi dua, yaitu: a) hadis gharib Mutlak,
ialah hadis yang hanya diriwayatkan oleh seorang rawi pada thabaqat sahabat; b)
hadis gharib Nisbi, ialah hadis yang diriwayatkan secara sendirian di
tengah-tengah sanad meskipun diriwayatkan oleh banyak periwayat pada thabaqat
sahabat. Dalam pengertian lain, hadis gharib nisbi adalah hadis yang
kesendiriannya dinisbatkan pada sifat tertentu, meskipun pada dasarnya hadis
itu masyhur.
Adapun gharib nisbi sendiri terbagi lagi menjadi 3 bagian, yakni: a) muqayyad
bi ats-Tsiqah; b) Muqayyad bi al-Balad; c) muqayyad ‘ala ar-Rawi.
C.
Kehujahan Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad dan Perbedaan Ulama
dalam Menyikapinya
Para ulama dan segenap umat Islam sepakat pendapatnya, bahwa hadis
mutawatir memberi faidah ilmu dhoruri, yakni suatu keharusan untuk menerimanya
secara bulat seseuatu yang diberitakan oleh hadis mutawatir tersebut, hingga
membawa kepada keyakinan yang qath’i (pasti).
Hadis mutawatir, apalagi yang lafdzi, derajatnya sangat tinggi,
seimbang dengan al-Qur’an dalam hal qath’i al-Wurudnya, qath’i al-Dalalahnya
bagi hadis mutawatir yang muhkam, namun dzanni al-Dalalahnya dalam
al-Mutasyabih.
Berikut kehujahan hadis mutawatir menurut sebagian ulama,
sebagaimana dikutip oleh Idri, di antaranya:
1.
Menurut
Muhammad al-Shabbagh, pengetahuan yang disampaikan pada hadis mutawatir, harus
bersifat dharuri yang diperoleh dari pengamatan panca indra.
2.
Ibnu
Taimiyah, orang yang meyakini ke-mutawatiran suatu hadis, wajib memercayai
kebenarannya dan mengamalkan sesuai isi kandungannya.
3.
Mahmud
al-Thahhan, hadis mutawatir bersifat dharuri, yaitu ilmu yang meyakinkan yang
mengharuskan manusia memercayai dan membenarkannya secara pasti seperti orang
yang menyaksikannya sendiri, tanpa disertai dengan keraguan sedikitpun. Oleh
karena itu, hadis mutawatir dapat diterima sebagai hujjah tanpa harus mengkaji
para perawinya.
4.
Muhammad
‘Ajjaj al-Khatib, pada hadis mutawatir tidak dikaji tentang kualitas para
perawinya tetapi wajib diamalkan
Jika di atas dijelaskan dan diketahui bahwa hadis mutawatir
bersifat dharuri dan wajib diamalakan, maka kehujahan hadis ahad yang sahih
dapat dijadikan hujjah yang wajib diamalkan. Pendapat senada diungkapakn oleh
Muslim Ibn al-Hajjaj sebagaimana dikutip Idri bahwa hadis ahad boleh diamalkan
selama memenuhi persyaratan maqbul dan bahkan hukumnya wajib.
Oleh karena itu, hadis ahad memberikan faedah dzanni maksudnya wajib diamalkan
kalau sudah diakui akan kesahihannya. Adapun pengamalannya menurut para ulama
adalah dalam masalah amaliyah, baik ubudiyah maupun mu’amalah, tidak dalam
bidang akidah/ keimanan, karena keimanan/ keyakinan harus ditegakkan atas dasar
dalil yang qath’i. Menurut imam Syafi’i sebagaimana dikutip oleh Moh. Anwar,
hadis ahad tidak dapat menghapus hukum dari al-Qur’an, karena al-Qur’an adalah mutawatir.
Sedangkan Imam Abu Hanifah mensyaratkan dalam mengamalkan hadis
ahad, dengan beberapa syarat, yakni: a) perawri tidak menyalahi apa yang
diriwayatkannya, jika menyalahi maka yang diturut adalah pendapatnya, bukan
riwayatnya; b) hal yang diriwayatkan itu bukan masalah umum balwa, sebab
masalah umum balwa seharusnya diriwayatkan oleh banyak orang; c) riwayat itu
tidak bertentangan dengan qiyas.
D.
Ziyadah Thiqat dan Macamnya
Secara bahasa ziyadah berarti tambahan, sedangkang secara istilah
ilmu hadis ziyadah pada matan adalah tambahan lafadz ataupun kalimat yang
terdapat pada matan, tambahan itu dikemukakan oleh periwayat tertentu,
sedangkan periwayat lain tidak mengemukakannya.
Adapun macam-macam ziyadah adalah sebagai berikut:
1.
Ziyadah
yang berasal dari perawi yang tsiqah, tatapi isinya bertentangan dengan yang
dikemukakan oleh perowi lainyang sama tsiqahnya, maka ziyadah tersebut ditolak
2.
Ziyadah
yang berasal dari perawi yang tsiqah dan isinya tidak bertentangan dengan perawi
yang sama tsiqahnya, maka ziyadah ini diterima.
3.
Ziyadah
yang berasal dari perawi yang tsiqah berupa sebuah lafadz yang mengandung arti
tertentu, sedangkan para perawi lain yang tsiqah tidak mengemukakannya. Menurut
Ibn Shalah beliau tidak mengemukakan penjelasan tentang kedudukan ziyadah
ketiga ini.
E.
Hadis Dhaif Sebab Cacat Kedhabitan
1.
Hadits munkar Vs Hadis Ma’ruf
Kata munkar berasal dari akar kata (أنكر-ينكر-إنكارا) berarti menolak, tidak
menerima atau lawan kata dari iqrar (mengakui/ menerima). Cacat pada
perawi itu membuat tertolak dan diingkarinya.
Di kalangan ulama hadis, hadis munkae didefinisikan dengan: a) Hadis yang dalam
sanadnya terdapat periwayat yang mengalami kekeliruan yang parah, banyak
kesalahan, dan pernah berbuat fasik; b) Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat
yang dhaif bertentangan dengan riwayat periwayat yang tsiqah.
Contoh:
صائم
رمضان في السفر كالمفطر في الحضر
“Seorang puasa ramadhan dalam perjalanan seperti seorang berbuka
dalam tempat tinggalnya”
Hadis di atas munkar karena periwayatan Usamah bin Zaid al-Madani
secara marfu’ (dari Rasulullah), bertentangan periwayatan Ibn Abi dzi’bin yang
tsiqah, menurutnya hadis di atas mauquf pada Abdurrahman bin Auf.
Kalau di atas menjelaskan hadis munkar maka sebagai perimbangannya
akan dijelaskan hadis ma’ruf, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang
terpercaya, yang berbeda dengan riwayat rawi yang dhaif. Perbedaan hadis munkar
dan ma’ruf adalah apabila datang dari rawi yang terpercaya disebut hadis
ma’ruf, dan apabila datang dari rawi yang tidak terpercaya (dhaif ) maka
disebut hadis munkar.
Berikut contoh hadis munkar dan hadis ma’ruf, ialah yang
diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim, dari riwayat Hubaiyyib bin Habib, saudara
Hamzah al-Zayyat dari Abu Ishaq dari al-Aizar bin Hurais dari Ibn Abbas dari
Nabi SAW. bersabda:
من
اقام الصلاة واتى الزكاة وحج وصام وقرى الضيف دخل الجنة
“Barang siapa mendirikan shalat, menunaikan zakat, melakukan
haji, berpuasa dan menjamu tamu maka ia masuk surga”.
Abu Hatim berpendapat, hadis tersebut munkar, karena dalam riwayat
lain hadis tersebut diriwayatkan oleh orang-orang terpercaya yang
meriwayatkannya dari jalan Abu Ishaq dengan jalan mauquf. Dan riwayat inilah
yang menjadikannya sebagai hadis ma’ruf. Sebab Hubaiyyib adalah rawi yang tidak
terpercaya, sehingga membuat kedua riwayat itu berbeda, namun dengan riwayatnya
itu justru telah membuat hadis ini menjadi ma’ruf. Oleh karena itu, jika
rawinya terpercaya maka dikatakan hadis ma’ruf sedangkang yang tidak terpercaya
maka dikatakan munkar.
2.
Muthorrib
Kata muthorrib berasal dari akar kata (إضرب-يضطرب-إضطرابا فهو مضطرب) yang berarti goncang dan bergetar. Kegoncangan
suatu hadis karena terjadi kontra antara satu hadis dengan hadis lain,
berkualitas sama dan tidak dapat dipecahkan secara ilmiah. Adapun menurut
istilah adalah hadis yang diriwayatkan pada beberapa segi yang berbeda, tetapi
sama dalam kualitasnya.
Jadi, kriteria hadis mutharrib adalah a) adanya kekacauan riwayat hadis dan
tidak mungkin dilakukan kompromi antara keduanya; b) adanya kesamaan kekuatan
riwayat sehingga tidak mungkin dilakukan tarjih antara keduanya.
Contoh hadis mutharrib:
شيبتني
هود وأخواتها
“Membuat uban rambutku Surah Hud dan
saudara-saudaranya” (HR. Tirmidzi).
Hadis ini mutharrib, karena hanya diriwayatkan melalui Abu Ishaq
dan diperselisihkan dalam sekitar 10 segi masalah. Di antara mereka ada yang
meriwayatkannya secara mursal dan ada yang mausul. Di antara mereka ada yang
menjadikannya dari musnad Abi Bakar, musnad Aisyah, musnad Sa’ad dan lain-lain.
Semua tsiqah tetapi tidak dapat dikompromikan dan tidak dapat di tarjih.
3.
Maqlub
Maqlub berasal dari akar kata (قلب-يقلب-قلبا فهو مقلوب) berarti mengubah,
mengganti, berpindah dan atau membalik. Secara istilah hadis maqlub adalah
hadis yang terbalik (redaksi) baik pada sanad atau pada matan. Hadis maqlub
adalah hadis yang terbalik susunan kalimatnya tidak sesuai dengan susunan yang
semestinya, terkadang mendahulukan yang seharusnya diakhirkan atau sebaliknya,
atau mengganti kata lain dengan tujuan tertentu.
Dari hal ini, diketahui bahwa hadis maqlub terbagi menjadi dua, yaitu: a) Hadis
maqlub pada matan; b) Hadis maqlub pada sanad.
Salah satu contoh hadis maqlub pada matan sebagai berikut:
فإذا
أنأ بالنبي صلى الله عليه وسلم جالسا على مقعدته مستقبل القبلة مستدبر الشام
“Maka ketika itu aku bersama Nabi SAW.
beliau duduk di atas bangku menghadap kiblat dan membelakangi syam”
Hadis di atas di maqlubkan menjadi:
مستقبل
الشام مستدبر القبلة
Menghadap Syam dan membelakangi kiblat.
4.
Mudarraj
Mudraj berasal dari kata (أدرج-يدرج-إدراجا
فهو مدرج) yang berarti memasukkan
atau menghimpun dan atau menyisipkan.
Secara istilah, mudraj adalah hadis yang bentuk bentuk sanadnya diubah atau ke
dalam matannya dimasukkan sesuatu jata atau kalimat yang sebetulnya bukan
bagian dari hadis tersebut tanpa ada tanda pemisah.
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa hadis mudraj memiliki dua bentuk,
yakni mudraj pada sanad dan mudraj pada matan. Mudraj dari segi matan bisa
jadi, berada di awal, di tengah maupun di akhir matan. Berikut contoh hadis
mudraj pada awal matan, hadis riwayat al-Khatib dari Abi Qathan dan Syababah
dari Syu’bah dari Muhammad bin Zayad dari Abu Hurairah berkata Rasulullah SAW:
أسبغوا
الوضوء ويل للأعقاب من النار
“Sempurnakanlah wudlu, celaka bagi beberapa tumit kaki dari
ancaman api neraka”.
Kata “أسبغوا
الوضوء” adalah mudraj (sisipan) dari perkataan
Abu Hurairah sebagaimana periwayatan al-Bukhari dari Adam dari Syu’bah dari
Muhammad bin Zayad dari Abu Hurairah berkata:
أسبغوا
الوضوء فإن أبالقسيم صلى الله عليه وسلم قال: ويل للأعقاب من النار
Sempurnakanlah
wudlu, maka sesungguhnya Aba al-Qasim SAW. bersabda: “celaka bagi beberapa
tumit kaki dari ancaman api neraka”.
5.
Mushohhaf
Secara bahasa berasal dari kata (صحف-ِ- تصحيفا فهو مصحف) yang berarti salah baca
tulisan (sahifah). Kesalahan baca ini bisa jadi dikarenakan salah
melihat atau salah mendengar.
Istilah tashhif (mushahhaf) dimaksudkan sebagai tinjauan kesalahan dari
segi huruf yang terbatas pada sisi fonim, yaitu huruf-huruf yang bertitik.
Contoh hadis mushahhaf sebagai berikut:
من
صام رمضان وأتبعه ستا من شوال كان كصوم الدهر
“Barang siapa yang berpuasa Ramadhan diikutinya dengan enam hari
dari bulan syawal, maka ia sama dengan berpuasa satu tahun”.
Hadis ini ditashhifkan oleh Abu Bakar Ash-Shuli dengan ungkapan:
من
صام رمضان وأتبعه شيئا من شوال كان كصوم الدهر
6.
Muallal
Mu’allal secara bahasa berasal dari kata (علل-يعلل-تعليلا فهو معلل) berasal dari kata ‘illah
(علة) yang berarti al-Maradh (penyakit). Adapun secara istilah hadis
mu’allal adalah hadis yang dilihat di dalamnya terdapat ‘illah yang membuat
cacat kesahihan hadis, padahal lahirnya selamat daripadanya.
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa kriteria ‘illah adalah
adanya cacat yang tersembunyi dan cacat itu mengurangi atau menghilangkan kesahihan suatu hadis. Jika
cacat itu tidak tersembunyi dan tidak mengurangi keabsahan suatu hadis tidak
disebut ‘illah.
Contoh hadis mu’allal:
كان
النبي صلى الله عليه وسلم إذا اراد الحاجة لم يرفع ثوبه حت يدنو من الارض
“Adalah Nabi SAW ketika hendak hajat tidak mengangkat kakinya
sehingga dekat dengan tanah”.
Hadis di atas lahirnya shahih karena semua perawi dalam sanad
tsiqah, tetapi al-A’masy tidak mendengar dari Annas bin Malik. Ibnu al-Madini
mengatakan, bahwa al-A’masy tidak mendengar dari Annas bin Malik. Dia
melihatnya di Mekkah shalat di belakang makam Ibrahim.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hadis mutawatir khabar yang didasarkan pada panca indra yang
dikhabarkan oleh sejumlah orang yang mustahil menurut adat mereka bersepakat
untuk mengkhabarkan berita itu dengan dusta. Dalam pembagiannya hadis mutawatir
terbagi menjadi tiga, yaitu: mutawatir lafdzi, mutawatir maknawi dan mutawatir
amali.
Berbeda dengan hadis mutawatir, hadis ahad adalah yang diriwayatkan
oleh seorang perawi atau dua orang atau lebih akan tetapi belum cukup syarat
untuk dimasukkan ke dalam ketegori hadis mutawatir. Dalam pembagiannya hadis
ahad terbagi menjadi dua, yaitu: hadis Masyhur dan hadis ghairu masyhur,
kemudian hadis masyur sendiri terdapat dua macam, yakni hadis aziz dan ghairu
aziz/ gharib.
Para ulama dan segenap umat Islam sepakat pendapatnya, bahwa hadis
mutawatir memberi faidah ilmu dhoruri, yakni suatu keharusan untuk menerimanya
secara bulat seseuatu yang diberitakan oleh hadis mutawatir tersebut, hingga
membawa kepada keyakinan yang qath’i (pasti). Sedangkan hadis ahad berpredikat
dzanni dan dalam pengamalannya memiliki syarat tertentu. Kemudian dalam
periwayatan hadis terdapat istilah ziyadah tsiqah, maksudnya adalah tambahan
tsiqah pada perawi.
Selanjutnya setelah mengetahui
kriteria hadis darisegi kuantitasnya, kemudian dari segi kualitas terdapat
berbagai macam hadis, salah satunya
yaitu hadis ditinjau dari segi kedhabitan perawinya, di sini penulis hanya
membahas sebagiannya saja di antaranya: hadits munkar, muthorrib, maqlub,
mudarraj, mushohhaf, muallal. Adapun lawan dari munkar sendiri adalah hadis
ma’ruf.
B.
Saran
Demikian
pemaparan makalah yang dapat dijelaskan oleh penulis, dan mungkin dalam
penyampaiannya tentu masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, adany
kritik dan saran yang membangun selalu penulis harapkan guna kesempurnaan dan
perbaikan makalah di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Kamaruddin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik
Hadis. Jakarta: PT Mizan Publika, 2009
Aziz, Mahmud dan Mahmud Yunus, Ilmu Musthalah Hadis.
Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1991.