ALIRAN JABARIYAH DAN QADARIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbicara
masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam.
Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum teolog Islam berdebat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pemikirannya
sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar
mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran
dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang
mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam.
Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di
bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan
waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.
Perbedaan
teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk
praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui
perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi
patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek
filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para
malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada
peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak
manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian
memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah
dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
Makalah ini
akan mencoba menjelaskan aliran Jabariyah dan Qadariyah. Dalam makalah ini
penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Jabariyah dan
Qadariyah. Mencakup di dalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran
dan ajaran-ajarannya secara umum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Aliran Jabariyah
1.
Pengertian jabariyah
Kata جبرية berasal dari kata جبر yang berarti memaksa. Di
dalam al-Munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari
kata جبر yang mengandung arti memaksa dan
mengharuskan melakukan sesuatu. Kalau dikatakan Allah mempunyai sifat al-jabbar
(dalam bentuk mubalaghoh), itu artinya Allah maha memaksa. Ungkapan مجبور الإنسان (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau
terpaksa.[1]
Selanjutnya, kata جبر (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi jabariyah ( dengan menambah ya’ nisbah),
memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme). Dalam istilah ilmu kalam,
jabariyah adalah aliran teologi Islam yang berpendirian bahwa manusia dalam
segala kehendak atau perbuatannya tak ubahnya seperti ranting kayu yang
bergerak lantaran terpaksa belaka (segala atas kodrat Tuhan semata).[2] Lebih lanjut as-Syahrstani menegaskan bahwa paham
al-jabr berarti menghilangkan perbuatan
manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. Denagan
kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahsa
inggris جبرية disebut fatalisme atau predestination,
yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari
semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[3]
2.
Asal Usul kemunculan dan perkembangan aliran Jabariyah
Faham al-jabar
pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh
Jahm bin Sofwan dari Khurasan dalam sejarah teologi islam Jahm tercatat
sebagai tokoh yang mendirikan alirah Jahmiyah dalam kalangan Murjiah,
ia adalah sekretaris Suraih bin al-Haris dan selalu menemaninya dalam
gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Namun, dalam perkembangannya faham al
jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya al husain bin
Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirar. Mengenai kemunculan faham al-Jabar ini, melalui pendekatan
geokultural yang mana ketergantungan mereka kepada
alam gurun sahara yang telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
Dalam situasai yang demikian masyarakat arab tidak melihat jalan
untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya. Mereka
merasa
dirinya lemah dan tidak kuasa dalam menghadapi kesukaran-kesukran hidup. Akhirnya,
mereka banyak tergantung pada kehendak
alam. Hal ini membawa mereka pada sikap fatalisme.[4]
Sebenarnya,
benih-benih paham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua
tokoh di atas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini :
a.
Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam
masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan
tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan
mengenai takdir.[5]
b.
Khalifah Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang
yang ketahuan mencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata, “Tuhan
telah menentukan aku mencuri”. Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan
menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar
mememberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukum potong
tangan karena mencuri. Kedua dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.[6]
c.
Khalifah Ali bin Abi Thalib seusai perang shiffin ditanya oleh
seseorang tua tentang qodar (ketentuan)
Tuhan dan kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang itu bertanya, “Apabila
perjalanan (menuju perang shiffin) itu terjadi dengan qodho dan qadar Tuhan,
tidak ada pahala sebagai balasannya”. Kemudian Ali menjelaskan bahwa qadha dan qadar bukanlah paksaan
Tuhan. Oleh karena itu, ada pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan
manusia. Ali selanjutnya menjelasakan sekiranya qadha dan qadar merupakan
paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah makna janji dan ancaman Tuhan
serta tidak ada celaan Allah atas pelaku
dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik.[7]
d.
Pada pemerintah Daulah Bani Umayyah pandangan tentang al-jabar
semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas melalui suratnya memberikan
reaksi keras kepada Syiria yang diduga berpaham “jabariyah”.[8]
Paparan di atas
menjelaskan bahwa bibit paham al-jabar telah muncul sejak awal periode
islam. Akan tetapi, al-jabar sebagai pola pikir atau aliran yang dianut,
dipelajari dan dikembangkan terjadi pada masa-masa pemerintahan Daulah Bani
Umayyah, yaitu oleh kedua tokoh yang telah disebutkan diatas.
Berkaitan
dengan kemunculan aliran Jabariyah dalam islam, ada teori yang
mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu
pengaruh agama Yahudi bermadzab Qurra dan agama Kristen bermadzab Yacobit.[9]Akan
tetapi, tanpa pengaruh-pengaruh asing itu sesungguhnya paham al-jabar akan
muncul di kalangan umat islam. Sebab, di dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang
dapat menimbulkan paham ini, misalnya:
$¨B (#qçR%x. (#þqãZÏB÷sãÏ9 HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# ... ÇÊÊÊÈ
Artinya; “...mereka tidak juga akan beriman , kecuali jika allah
menghendaki...”(QS. al-An’am[6]:111)
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
Artinya: “ Padahal Allah-lah
yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".(QS. As-Shaffat[37]:96)
öNn=sù öNèdqè=çFø)s? ÆÅ3»s9ur ©!$# óOßgn=tGs% 4 $tBur |MøtBu øÎ) |MøtBu
ÆÅ3»s9ur ©!$# 4tGu 4 uÍ?ö7ãÏ9ur úüÏZÏB÷sßJø9$# çm÷ZÏB ¹äIxt/ $·Z|¡ym 4 cÎ) ©!$#
ììÏJy ÒOÎ=tæ ÇÊÐÈ
Artinya:17.
“Maka (yang
sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh
mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah
yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk
memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik.
Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. Al-Anfal[8]:17)
Ayat-ayat
diatas terkesan membawa seseorang pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah sebabnya
pola pikir Jabariyah masih tetap ada di kalangan umat islam hingga kini
walaupun anjurannya telah tiada.[10]
3.
Para Pemuka dan Doktrin-Doktrin Pokok Jabariyah
Menurut
Asy-syahrastani, jabariyah itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu ekstrim dan moderat.
Diantara doktri jabariyah ekstrem adalah pendapatnya bahwa segala
perbuatan manusia bukanlah merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya,
melainkan perbuatan yang dipaksakan atas
dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri perbuatan mencuri itu bukan
terjadi atas kehendak sendiri, melainkan karena qadha dan qodar Tuhan yang
menghendaki demikian. Diantara pemuka Jabariyah ekstrim adalah sebagai
berikut.
a.
Jahm bin Shafwan
Nama lengkapnya
adalah Abu Mahrus Jaham bin Shofwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat
tinggal di kufah. Ia seorang da’i yang
fasih dan lincah (orator), ia
duduk sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang
pemerintah Bani Umayyah di Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis
tanpa ada kaitannya dengan agama.[11]
Sebagai seorang
penganut dan penyebar paham Jabariyah, banyak
usaha yang
dilakukan Jahm, antara lain menyebarkan doktrinnya ke berbagai tempat
seperti ke Tirmidz dan Balk.[12]
Diantara
pendapat-pendapat Jahm berkaitan dengan persoalan Teologi adalah sebagai
berikut.
1). Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai
daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat
jahm tentang keterpaksaan lebih terkenal di bandingkan pendapatnya tentang
surga dan neraka, konsep iman, kalam tuhan, meniadakan
sifat Tuhan (Nafyu as-Sifat).
2). Surga dan neraka tidak kekal.
Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3). Iman adalah makrifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini
pendapatnya sama dengan konsep iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
4). Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah maha suci dari segala sifat dan
keserupaan dengan manusia, seperti berbicara, mendengar, dan melihat. Begitu
pula tuhan tidak dapat dilihat dengan indera
mata di akhirat kelak.[13]
Dengan
demikian, dalam beberapa hal, Jahm berpendapat serupa dengan Murji’ah,
Mu’tazilah, dan Asy’ariah sehingga para pengkritik dan sejarawan menyebutnya
dengan Al-Mu’tazil, Al-Murji’i, dan Al-asy’ari.
b.
Ja’d bin Dirham
Al-Ja’d adalah
seorang Maulana bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di lingkungan
orang kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk
mengajar di lingkungan pemerintah bani Umayyah, tetapi setelah
pikiran-pikirannya yang kontroversial terlihat, Bani Umayyah menolaknya
sehingga ia harus lari ke Kuffah dan bertemu dengan Jahm, yang akhirnya berhsil
mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin pokok
Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskan
sebagai berikut:
1). Al-Qur’an adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu
yang baru tidak dapat disifatkan kepada
Allah.
2). Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti
berbicara, melihat, dan mendengar.
3). Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda dengan
jabariyah ekstrim, Jabariyah moderat
mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat
maupun baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang
diciptakan dalam diri manusia mempunyai
efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab(acquistin).
Menurut paham kasab, manusia tidak majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti
wayang yang terkendali di tangan dalang dan tidak pula menjadi pencipta
perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.[14]
Di
bawah ini adalah tokoh-tokoh Jabariyah Moderat:
a.
Al-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin
Muhammad An-Najjar (wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah
atau Al-Hussaniyyah. Di antara pendapat-pendapatnya
adalah:
1). Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatan itu.
Itulah yang disebut kasab dalam teori al-Asy’ary. Dengan
demikian, manusia dalam pandangan An-Najjar tidak lagi seperti wayang yang
gerakannya bergantung pada dalang. Sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri
manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.[15]
2). Tuhan tidak dapat dilihat
di akhir. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat memindahkan
potensi hati (ma’rifat) pada mata
sehingga manusia dapat melihat Tuhan.[16]
b. Adh-Dhirar
Nama lengkapnya
adalah Dhirar
bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein
An-Najjar, yaitu bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan
dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya, dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan
perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat
ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak
hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusianya. Manusia turut
berperan dalam mewujudka perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat
Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di
akhirat melalui “indra ke enam”. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang
dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadits ahad tidak
dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[17]
B.
Aliran Qodariyah
1.
Pengertian Qodariyah
Qadariyah berasal dari bahasa arab, dari kata “قدر” yang artinya adalah
kemampuan dan kekuatan. Menurut pengertian terminologi قدرية adalah suatu aliran yang
percaya bahwa dalam tindakan manusia tidak diintervensi tangan Tuhan.
Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala
perbuatannya, ia dapat berbuaat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendak
sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapatlah dipahami bahwa Qadariyah
dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan
kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution
turut menegaskan bahwa kaum Qodariyah berasal dari pengertian bahwa
manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya,
dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar
Tuhan.[18]
2.
Asal Usul Aliran Qadariyah
Pada akhir abad pertama Hijriah, diantara golongan islam timbul
suatu madzhab yang disebut qadariyah yang dipelopori oleh seorang bernama: Ma’bad
Al-Jauhani Al-Bishri dan Gahailan
Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah
berguru kepada hasan Al Bisri. Ia juga sebagai orang yang alim tentang quran
dan hadits, tetapi kemudian ia menjadi sesat dan membuata pendapat-pendapat
yang salah serta batal. Sungguhpun demikian adapula orang yang menjadi
pengikutnya.
Akan
tetapi setelah diketahui oleh pemerintah diwaktu itu, lalu ia dibunuh oleh
Abdul Malik bin Marwan dan dimakamkan di Damsyik tahun 80 hijriyah.[19].
Sedangkan Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya
menjadi maula Utsman bin Affan. [20]
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikiutip Ahmad
Amin (1886-1954 M), memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan
paham qadariyah adalah orang iraq yang semula beragama kristen kemudian masuk
islam dan kembali ke agama kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan Ghailan
mengambil paham ini. Orang iraq yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad
Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai adalah susan.[21]
Sementara itu, W.Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui
tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa jerman yang dipublikasikan melauli majalah
Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan paham qodariyah yang
terdapat dalam kitab risalah dan ditulis untuk khalifah Abdul Malik oleh Hasan
Al-Bisri sekitar tahun 700M. Hasan Al-Bisri (642-728) adalah anak seseorang
yang berstatus tahanan di iraq, lahir di madinah, tetapi pada tahun 657 pegi ke
Basrah dan tinggal disana sampai akhir hayatnya. Apakah Hasan Al-Bisri orang
qodariyah atau bukan, hal ini memang terjadi perdebatan. Akan tetapi, yang
jelas berdasarkan catatannya yang terdapat dalam kitab risalah ini, ia percaya
bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara baik dan buruk. Hasan yakin
bahwa manusia bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat buruk.[22]
3.
Doktrin-doktrin Pokok dan Tokoh-Tokoh Aliran Qodariyah
Dalam kitab Al-Milal Wa An-Nihal pembahasan masalah qadariyah
disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin mu’tazilah, sehingga
perbedan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad amin juga
menjelaskan bahwa doktrin qodar lebih luas dikupas oleh kalangan mu’tazilah
sebab faham ini juga menjadi salah satu doktri mu’tazilah. Akibatnya, sering
kali orang menamakan qodariyah dengan mu’tazilah karena kedua aliran ini
sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan
tanpa campur tangan Tuhan.[23]
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin
qodariayah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya.
Salah
seorang pemuka qodariyah yang lain An-Nazzam mengemukakan bahwa manusia
hidup mempunyai daya selagi hidup manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas
segala perbuatannya. Dari beberapa penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa
doktrin qodariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku
manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri.[24]
Faham takdir dalam
pandangan qodariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai
oleh bangsa arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia
telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam faham qodariyah, takdir itu adlah
ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya,
sejak zaman azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah sunnatullah.[25]
Secara alamiyah, sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang
tidak dapat diubah. Dengan daya pikir yang kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih
terampil.[26]
Adapun ayat
yang mendukung pada pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
فمن شاءفليؤمن ومن شاء فليكفر
Artinya:barang
siapa yang mau berimanlah ia, dan barang
siapa yang ingin kafir, maka biarlah ia kafir.(QS. Al-Kahfi[18]:29 )
ان الله لايغير مابقوم حتى يغيروا مابأنفسهم
Artinya:
sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum, kecuali jika mereka mengubah
keadaan diri mereka sendiri.(QS. Ar-Ra’d[13]:11).
Adapun
tokoh-tokoh aliran qodariyah adalah: Ma’bad al-jauhani Abi Syamr, Ibnu
syahib, Ghailan ad-Dimasyqi, dan Saleh Qubbah.[27]
Mereka berbeda pendapat mengenai pengertian iman, yakni sebagai berikut:
Abi Syamr berpendapat tentang iman:
ان الإ يمان هو معرفة الله عز وجل والمحبة
والخضوع له بالقلب والإقرار به انه واحد
Artinya:sesungguhnya iman adalah ma’rifat kepada Allah Azza Wajalla,
cinta, tunduk dengan hati kepada-Nya dan berikrar bahwa sesungguhnya Dia itu
Esa.
Muhammad ibn syahib berpendapat:
ان الإيمان هو الإقرار بالله والمعرفة برسله
وبجميع ما جاء من عندالله تعالي مما نص عليه المسلمون من الصلاة
والزكاة والصيام والحج وكل ما لم يختلفوا فيه
Artinya:sesungguhnya iman adalah ikrar kepada Allah SWT. M’rifat kepada
para Rasul dan segala apa yang dibawa dari Allah tentang hal-hal yang
disepakati oleh orang-orang islam, seperti sholat, zakat, puasa, haji, dan
hal-hal yang tidak diperselisihkan.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Aliran Jabariyah
1.
Asal Usul kemunculan dan perkembangan aliran Jabariyah
Paham al-jabar
pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham yang kemudian disebarkan oleh
Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teolog islam, jahm tercatat
sebagai tokoh yang mendirikan Jahmiyah dalam kalangan murji’ah. Ia duduk
sebagai sekretaris Suraih bin Al-Haris dan mnemaninya dalam gerakan melawan
kekuasaan Bani Umayyah.
2.
Para Pemuka dan Doktri-doktri Pokok Jabariyah
a.
Jahm bin Shafwan
Doktrin-doktrin
pokoknya:
1)
Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya,
tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
2)
Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3)
Iman adalah makrifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini
pendapatnya sama dengan konsep iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
4)
Kalam tuhan adalah makhluk.
Allah maha suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia, seperti
berbicara, mendengar, dan melihat. Begitu pula tuhan tidak dapat dilihat dengan
indra mata di akhirat kelak.
b.
Ja’d bin Dirham
Doktrin-doktrin
pokoknya:
1). Al-Qur’an adalah makhluk.
Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang
baru tidak dapat disifatkan kepada Allah.
2). Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti
berbicara, melihat, dan mendengar.
3). Manusia terpaksa oleh
Allah dalam segala-galanya.
c.
Al-Najjar
d.
Ad Dhirar
B.
Aliran Qadariayah
1.
Asal Usul Aliran Qadariyah
Qadariyah
pertama dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad
adalah taba’i percaya dan pernah beguru kepada Hasan Al- Bisri. Sementara
Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula
Ustmna bin Affan.
2.
Doktrin-doktrin Pokok dan tokoh aliran Qodariyah
Manusia
berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia yang melakukan, baik atas
kehendak maupun kekuasan sendiri, dan manusia pula yang melakukan atau menjauhi
perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
Adapun
tokoh-tokoh aliran qodariyah adalah: Ma’bad al-jauhani Abi Syamr, Ibnu
syahib, Ghailan ad-Dimasyqi, dan Saleh Qubbah.[28]
[4] Miftakhudin, Ilmu Kalam Kelas XI (Ponorogo;Darul Huda
Press,2008), 72-73
[5] Ibid 73
[6] Ibid 73
[7] Ibid 73
[19] Taib Thahir, Ilmu kalam (Jakarta;Widya, 1986), 238
[20] Abdul Rozak, 71.
[21] Ibid,71.
[22] Ibid, 71.
[23] Miftakhudin, Ilmu Kalam Kelas XI (Ponorogo: Darul Huda
Press,2008),81
[24] Ibid, 73.
[25] Ibid, 74.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar