Makalah

Sabtu, 01 Desember 2018

Aliran Jabariyah dan Aliran Qadariyah


ALIRAN JABARIYAH DAN QADARIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
 A. Latar Belakang Masalah
Berbicara masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti berbicara tentang Ilmu Kalam. Kalam secara harfiah berarti “kata-kata”. Kaum  teolog Islam  berdebat dengan kata-kata dalam  mempertahankan pendapat dan pemikirannya sehingga teolog disebut sebagai mutakallim yaitu ahli debat yang pintar mengolah kata. Ilmu kalam juga diartikan sebagai teologi Islam atau  ushuluddin, ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar dari agama. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan antara umat Islam. Perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukanlah masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, seiring dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.
Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemuka dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi patut dicatat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis diluar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalnya tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia, kedudukan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran, yaitu Mu'tazilah, Syiah, Khawarij, Jabariyah dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya.
Makalah ini akan mencoba menjelaskan aliran Jabariyah dan Qadariyah. Dalam makalah ini penulis hanya menjelaskan secara singkat dan umum tentang aliran Jabariyah dan Qadariyah. Mencakup di dalamnya adalah latar belakang lahirnya sebuah aliran dan ajaran-ajarannya secara umum.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Aliran Jabariyah
1.    Pengertian jabariyah
Kata جبرية berasal dari kata جبر yang berarti memaksa. Di dalam al-Munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata جبر yang mengandung arti memaksa dan mengharuskan melakukan sesuatu. Kalau dikatakan Allah mempunyai sifat al-jabbar (dalam bentuk mubalaghoh), itu artinya Allah maha memaksa. Ungkapan مجبور الإنسان (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa.[1]
Selanjutnya, kata جبر (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi jabariyah ( dengan menambah ya’ nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme). Dalam istilah ilmu kalam, jabariyah adalah aliran teologi Islam yang berpendirian bahwa manusia dalam segala kehendak atau perbuatannya tak ubahnya seperti ranting kayu yang bergerak lantaran terpaksa belaka (segala atas kodrat Tuhan semata).[2] Lebih lanjut as-Syahrstani menegaskan bahwa paham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan  manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyandarkannya kepada Allah. Denagan kata lain manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahsa inggris جبرية disebut fatalisme atau predestination, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[3]
2.    Asal Usul kemunculan dan perkembangan aliran Jabariyah
Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Sofwan dari Khurasan dalam sejarah teologi islam Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan alirah Jahmiyah dalam kalangan Murjiah, ia adalah sekretaris Suraih bin al-Haris dan selalu menemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Namun, dalam perkembangannya faham al jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya diantaranya al husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirar. Mengenai kemunculan faham al-Jabar ini, melalui pendekatan geokultural yang mana ketergantungan  mereka kepada alam gurun sahara yang telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam. Dalam situasai yang demikian  masyarakat arab  tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya. Mereka merasa dirinya lemah dan tidak kuasa dalam menghadapi kesukaran-kesukran hidup. Akhirnya, mereka banyak tergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka pada sikap fatalisme.[4]
Sebenarnya, benih-benih paham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh di atas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini :
a.    Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.[5]
b.    Khalifah Umar bin Khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata, “Tuhan telah menentukan aku mencuri”. Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar mememberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukum potong tangan karena mencuri. Kedua dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.[6]
c.    Khalifah Ali bin Abi Thalib seusai perang shiffin ditanya oleh seseorang tua tentang qodar (ketentuan) Tuhan dan kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang itu bertanya, “Apabila perjalanan (menuju perang shiffin) itu terjadi dengan qodho dan qadar Tuhan, tidak ada pahala sebagai balasannya. Kemudian Ali menjelaskan bahwa qadha dan qadar bukanlah paksaan Tuhan. Oleh karena itu, ada pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Ali selanjutnya menjelasakan sekiranya qadha dan qadar merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah makna janji dan ancaman Tuhan serta tidak ada celaan  Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik.[7]
d.   Pada pemerintah Daulah Bani Umayyah pandangan tentang al-jabar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas melalui suratnya memberikan reaksi keras kepada Syiria yang diduga berpaham “jabariyah”.[8]
Paparan di atas menjelaskan bahwa bibit paham al-jabar telah muncul sejak awal periode islam. Akan tetapi, al-jabar sebagai pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan terjadi pada masa-masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah, yaitu oleh kedua tokoh yang telah disebutkan diatas.
Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariyah dalam islam, ada teori yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermadzab Qurra dan agama Kristen bermadzab Yacobit.[9]Akan tetapi, tanpa pengaruh-pengaruh asing itu sesungguhnya paham al-jabar akan muncul di kalangan umat islam. Sebab, di dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang dapat menimbulkan paham ini, misalnya:
 $¨B (#qçR%x. (#þqãZÏB÷sãÏ9 HwÎ) br& uä!$t±o ª!$# ... ÇÊÊÊÈ 
Artinya; “...mereka tidak juga akan beriman , kecuali jika allah menghendaki...”(QS. al-An’am[6]:111)
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ  
Artinya: “ Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu".(QS. As-Shaffat[37]:96)
öNn=sù öNèdqè=çFø)s?  ÆÅ3»s9ur ©!$# óOßgn=tGs% 4 $tBur |MøtBu øŒÎ) |MøtBu  
ÆÅ3»s9ur ©!$# 4tGu 4 uÍ?ö7ãŠÏ9ur šúüÏZÏB÷sßJø9$# çm÷ZÏB ¹äIxt/ $·Z|¡ym 4 žcÎ) ©!$#
ììÏJy ÒOŠÎ=tæ ÇÊÐÈ
Artinya:17.  “Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”(QS. Al-Anfal[8]:17)

Ayat-ayat diatas terkesan membawa seseorang pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah sebabnya pola pikir Jabariyah masih tetap ada di kalangan umat islam hingga kini walaupun anjurannya telah tiada.[10]

3.        Para Pemuka dan Doktrin-Doktrin Pokok Jabariyah
Menurut Asy-syahrastani, jabariyah itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu ekstrim dan moderat. Diantara doktri jabariyah ekstrem adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukanlah merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya, melainkan perbuatan yang dipaksakan atas  dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri perbuatan mencuri itu bukan terjadi atas kehendak sendiri, melainkan karena qadha dan qodar Tuhan yang menghendaki demikian. Diantara pemuka Jabariyah ekstrim adalah sebagai berikut.
a.   Jahm bin Shafwan
Nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham bin Shofwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di kufah. Ia seorang dai yang fasih dan lincah (orator), ia duduk sebagai sekretaris Harits bin Surais, seorang mawali yang menentang pemerintah Bani Umayyah di Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan agama.[11]
Sebagai seorang penganut dan penyebar paham Jabariyah, banyak usaha yang dilakukan Jahm, antara lain menyebarkan doktrinnya ke berbagai tempat seperti ke Tirmidz dan Balk.[12]
Diantara pendapat-pendapat Jahm berkaitan dengan persoalan Teologi adalah sebagai berikut.
1).   Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat jahm tentang keterpaksaan lebih terkenal di bandingkan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam tuhan, meniadakan sifat Tuhan (Nafyu as-Sifat).
2).   Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3).   Iman adalah makrifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini pendapatnya sama dengan konsep iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
4).   Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah maha suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia, seperti berbicara, mendengar, dan melihat. Begitu pula tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.[13]
Dengan demikian, dalam beberapa hal, Jahm berpendapat serupa dengan Murji’ah, Mu’tazilah, dan Asy’ariah sehingga para pengkritik dan sejarawan menyebutnya dengan Al-Mu’tazil, Al-Murji’i, dan Al-asy’ari.
b.   Ja’d bin Dirham
Al-Ja’d adalah seorang Maulana bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di lingkungan orang kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk mengajar di lingkungan pemerintah bani Umayyah, tetapi setelah pikiran-pikirannya yang kontroversial terlihat, Bani Umayyah menolaknya sehingga ia harus lari ke Kuffah dan bertemu dengan Jahm, yang akhirnya berhsil mentransfer pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan.
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby menjelaskan sebagai berikut:
1). Al-Qur’an adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang   baru tidak dapat disifatkan kepada Allah.
2).   Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
3).   Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda dengan jabariyah ekstrim, Jabariyah  moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab(acquistin). Menurut paham kasab, manusia tidak majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang terkendali di tangan dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.[14]
Di bawah ini adalah tokoh-tokoh Jabariyah Moderat:
a.    Al-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain bin Muhammad An-Najjar (wafat 230 H). Para pengikutnya disebut An-Najjariyah atau Al-Hussaniyyah. Di antara pendapat-pendapatnya adalah:
1). Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori al-Asy’ary. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najjar tidak lagi seperti wayang yang gerakannya bergantung pada dalang. Sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.[15]
2).   Tuhan tidak dapat  dilihat di akhir. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat memindahkan potensi hati (marifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.[16]
b. Adh-Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar bin Amr. Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husein An-Najjar, yaitu bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya, dan  tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dhirar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusianya. Manusia turut berperan dalam mewujudka perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui “indra ke enam”. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadits ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.[17]

B.     Aliran Qodariyah
1.      Pengertian Qodariyah
Qadariyah berasal dari bahasa arab, dari kata “قدر” yang artinya adalah kemampuan dan kekuatan. Menurut pengertian terminologi قدرية adalah suatu aliran yang percaya bahwa dalam tindakan manusia tidak diintervensi tangan Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuaat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendak sendiri. Berdasarkan pengertian tersebut, dapatlah dipahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi penekanan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Harun Nasution turut menegaskan bahwa kaum Qodariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[18]
2.      Asal Usul Aliran Qadariyah
Pada akhir abad pertama Hijriah, diantara golongan islam timbul suatu madzhab yang disebut qadariyah yang dipelopori oleh seorang bernama: Ma’bad  Al-Jauhani Al-Bishri dan Gahailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru kepada hasan Al Bisri. Ia juga sebagai orang yang alim tentang quran dan hadits, tetapi kemudian ia menjadi sesat dan membuata pendapat-pendapat yang salah serta batal. Sungguhpun demikian adapula orang yang menjadi pengikutnya.
Akan tetapi setelah diketahui oleh pemerintah diwaktu itu, lalu ia dibunuh oleh Abdul Malik bin Marwan dan dimakamkan di Damsyik tahun 80 hijriyah.[19]. Sedangkan Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Utsman bin Affan. [20]
Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikiutip Ahmad Amin (1886-1954 M), memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan paham qadariyah adalah orang iraq yang semula beragama kristen kemudian masuk islam dan kembali ke agama kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan Ghailan mengambil paham ini. Orang iraq yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai adalah susan.[21]
Sementara itu, W.Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa jerman yang dipublikasikan melauli majalah Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan paham qodariyah yang terdapat dalam kitab risalah dan ditulis untuk khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Bisri sekitar tahun 700M. Hasan Al-Bisri (642-728) adalah anak seseorang yang berstatus tahanan di iraq, lahir di madinah, tetapi pada tahun 657 pegi ke Basrah dan tinggal disana sampai akhir hayatnya. Apakah Hasan Al-Bisri orang qodariyah atau bukan, hal ini memang terjadi perdebatan. Akan tetapi, yang jelas berdasarkan catatannya yang terdapat dalam kitab risalah ini, ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara baik dan buruk. Hasan yakin bahwa manusia bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat buruk.[22]
3.      Doktrin-doktrin Pokok dan Tokoh-Tokoh Aliran Qodariyah
Dalam kitab Al-Milal Wa An-Nihal pembahasan masalah qadariyah disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin mu’tazilah, sehingga perbedan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad amin juga menjelaskan bahwa doktrin qodar lebih luas dikupas oleh kalangan mu’tazilah sebab faham ini juga menjadi salah satu doktri mu’tazilah. Akibatnya, sering kali orang menamakan qodariyah dengan mu’tazilah karena kedua aliran ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.[23]
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin qodariayah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya.
Salah seorang pemuka qodariyah yang lain An-Nazzam mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya selagi hidup manusia mempunyai daya, ia berkuasa atas segala perbuatannya. Dari beberapa penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa doktrin qodariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri.[24]
Faham  takdir dalam pandangan qodariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam faham qodariyah, takdir itu adlah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak zaman azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah sunnatullah.[25]
Secara alamiyah, sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak dapat diubah. Dengan daya pikir yang  kreatif dan anggota tubuh yang dapat dilatih terampil.[26]
Adapun ayat yang mendukung pada pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
فمن شاءفليؤمن ومن شاء فليكفر
Artinya:barang siapa  yang mau berimanlah ia, dan barang siapa yang ingin kafir, maka biarlah ia kafir.(QS. Al-Kahfi[18]:29 )
ان الله لايغير مابقوم حتى يغيروا مابأنفسهم
Artinya: sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.(QS. Ar-Ra’d[13]:11).
Adapun tokoh-tokoh aliran qodariyah adalah: Ma’bad al-jauhani Abi Syamr, Ibnu syahib, Ghailan ad-Dimasyqi, dan Saleh Qubbah.[27]
Mereka berbeda pendapat mengenai pengertian iman, yakni sebagai berikut:
Abi Syamr berpendapat tentang iman:
ان الإ يمان هو معرفة الله عز وجل والمحبة والخضوع له بالقلب والإقرار به انه واحد
Artinya:sesungguhnya iman adalah ma’rifat kepada Allah Azza Wajalla, cinta, tunduk dengan hati kepada-Nya dan berikrar bahwa sesungguhnya Dia itu Esa.
Muhammad  ibn syahib berpendapat:
ان الإيمان هو الإقرار بالله والمعرفة برسله وبجميع ما جاء من عندالله تعالي مما نص عليه المسلمون  من الصلاة  والزكاة والصيام والحج وكل ما لم يختلفوا فيه
Artinya:sesungguhnya iman adalah ikrar kepada Allah SWT. M’rifat kepada para Rasul dan segala apa yang dibawa dari Allah tentang hal-hal yang disepakati oleh orang-orang islam, seperti sholat, zakat, puasa, haji, dan hal-hal yang tidak diperselisihkan.







BAB III
KESIMPULAN
A.           Aliran Jabariyah
1.      Asal Usul kemunculan dan perkembangan aliran Jabariyah
Paham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham yang kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teolog islam, jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan Jahmiyah dalam kalangan murji’ah. Ia duduk sebagai sekretaris Suraih bin Al-Haris dan mnemaninya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah.
2.      Para Pemuka dan Doktri-doktri Pokok Jabariyah
a.    Jahm bin Shafwan
Doktrin-doktrin pokoknya:
1)   Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
2)   Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
3)   Iman adalah makrifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini pendapatnya sama dengan konsep iman yang dimajukan kaum Murji’ah.
4)    Kalam tuhan adalah makhluk. Allah maha suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia, seperti berbicara, mendengar, dan melihat. Begitu pula tuhan tidak dapat dilihat dengan indra mata di akhirat kelak.
b.    Ja’d bin Dirham
Doktrin-doktrin pokoknya:
1).   Al-Qur’an adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang   baru tidak dapat disifatkan kepada Allah.
2). Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
3).  Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
c. Al-Najjar
d. Ad Dhirar

B.       Aliran Qadariayah
1.    Asal Usul Aliran Qadariyah
Qadariyah pertama dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah taba’i percaya dan pernah beguru kepada Hasan Al- Bisri. Sementara Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Ustmna bin Affan.
2.    Doktrin-doktrin Pokok dan tokoh aliran Qodariyah
Manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia yang melakukan, baik atas kehendak maupun kekuasan sendiri, dan manusia pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
Adapun tokoh-tokoh aliran qodariyah adalah: Ma’bad al-jauhani Abi Syamr, Ibnu syahib, Ghailan ad-Dimasyqi, dan Saleh Qubbah.[28]




[1] Abdul Rozak, Ilmu Kalam (Bandung: CV Pustaka setia, 2001), 63
[2] Azizi hasbullah, Aliran-Aliran Teologi Islam (Kediri: Kaisar, 2008), 138
[3] Abdul Rozak, 63
[4] Miftakhudin, Ilmu Kalam Kelas XI (Ponorogo;Darul Huda Press,2008), 72-73
[5] Ibid 73
[6] Ibid 73
[7] Ibid 73
[8]Ibid 73-74
[9] Abdul Rozak, 65
[10] Ibid, 66.
[11] Abdul Rozak, 67
[12] Ibid, 67
[13] Ibid, 68.

[14] Ibid, 68.
[15] Ibid, 69.
[16] Ibid, 69.
[17] Ibid, 69.
[18] Abdul Rozak, 70.
[19] Taib Thahir, Ilmu kalam (Jakarta;Widya, 1986), 238
[20] Abdul Rozak, 71.
[21] Ibid,71.
[22] Ibid, 71.
[23] Miftakhudin, Ilmu Kalam Kelas XI (Ponorogo: Darul Huda Press,2008),81
[24] Ibid, 73.
[25] Ibid, 74.
[26] Ibid, 74.
[27] A.Nasir, sahilun.Pemikiran Kalam.(jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), 141.
[28] A.Nasir, sahilun.Pemikiran Kalam.(jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), 141.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar