Makalah

Sabtu, 15 Desember 2018

Hadits Pendidikan (Pentingnya Ilmu Pengetahuan)


HADITS PENTINGNYA ILMU PENGETAHUAN
Oleh: Agung Aji Saputra

A.           Hadits
حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ سَمِعْتُ عَاصِمَ بْنَ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ يُحَدِّثُ عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِى الدَّرْدَاءِ فِى مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنِّى جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صلى الله عليه وسلم لِحَدِيثٍ بَلَغَنِى أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ. قَالَ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ « مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ[1]                                                                  
Artinya: Menceritakan kepada kita Musadad bin Musarhad, mengabarkan kepada kita Abdullah bin Daud berkata: saya mendengar dari Ashim bin Raja’ bin Haiwah diceritakan dari Daud bin Jamil dari Katsir bin Qais, dia berkata: aku pernah duduk bersama Abu Darda’ di masjid Damaskus lalu seorang laki-laki datang kepada Abu Darda’, berkata: wahai Abu Darda’ sebenarnya aku datang kepada engkau dari kota Madinah Rosulullah SAW. Karena suatu hadits yang telah datang kepada ku, bahwa engkau pernah menentukan hadits itu dari Rasulullah. Saya datang ke Syam ini tidak ada keperluan lain. Abu Darda’ berkata: sesungguhnya saya mendengar Rasulullah bersabda: barang siapa yang menempuh jalan untuk menempuh ilmu maka Allah akan menunjukkan jalan kepadanya salah satu dari jalan surga, dan sesungguhnya Malaikat mengepakkan sayapnya sebagai tanda ridlo atau hikmat kepada penuntut ilmu. Dan sesungguhnya orang yang berilmu atau orang yang alim beristighfar untuknya seluruh makhluk yang ada di bumi termasuk ikan-ikan yang ada di laut. Dan sesungguhnya keutamaan orang alim daripada yang ahli ibadah seperti halnya keutamaan bulan di malam bulan purnama terhadap semua bintang-gemintang. Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak pula dirham. Mereka mewariskan ilmu, maka  barang siapa mengambil ilmu itu, maka ia mengambil bagian yang berlimpah ruah.[2]
B.            Sanad Hadits
Rasulullah SAW
Abu Darda
Katsir bin Qais
Daud bin Jamil
‘Ashim bin Raja’ bin Hawaih
Abdullah bin Daud
Musaddad bin Musarhad
Abi Daud

C.            Kandungan Hadits

Maksud hadits diatas secara umum menjelaskan tentang keutamaan orang berilmu, didalamnya terdapat lima keutamaan orang yang menuntut ilmu yaitu, Allah akan memudahkan jalannya masuk surga, para Malaikat akan menghormatinya sebagai rasa tunduknya kepada pencari ilmu, semua makhluk yang ada di langit dan di bumi akan mendoakannya, orang yang menuntut ilmu itu lebih mulia dari pada orang yang rajin beribadah dan sebagai pewaris para Nabi.
Penjelasan dari keutamaan-keutamaan tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Allah akan memudahkan jalannya masuk surga
Hadits riwayat Abu Daud diatas serupa dengan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi berikut:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ.[3]                     

Berkaitan dengan hadits sebelumnya, hadits ini mengisyaratkan bahwa pergi mencari ilmu itu termasuk amal shaleh yang dijamin akan mendapatkan pahala, sehingga memudahkan yang bersangkutan masuk surga. Namun, ilmu yang dicari sini sudah barang tentu adalah ilmu yang bermanfaat bagi agama, yaitu ilmu yang dapat meneguhkan iman dan meningkatkan ketakwaan. [4]
2.    Para Malaikat akan menghormatinya sebagai rasa tunduknya kepada pencari ilmu. Mereka bersholawat (beristighfar) kepada orang yang menuntut ilmu untuk memintakan ampunan atasnya.
3.    Semua makhluk yang ada di langit dan di bumi akan mendoakannya
Maksudnya adalah makhluk yang ada dilangit beristighfar (memohonkan ampun) sedangkan yang ada di bumi seperti ikan dan lail-lain memohonkan do’a memintakan rahmat.[5]
4.    Orang yang menuntut ilmu itu lebih mulia dari pada orang yang rajin beribadah, maksudnya adalah ilmu merupakan perantara seseorang untuk beribadah oleh karenanya, ibadah tanpa ilmu tidak benar dan tidak dapat diterima. Riwayat lain menyebutkan “sesungguhnya keutamaan orang alim atas seorang yang ahli ibadah adalah sebagaimana keutamaan ku (Nabi) atas yang paling rendah dikalangan mu”.[6]
Menurut syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi penisbatan kemuliaan orang yang berilmu atas orang ahli ibadah adalah sebagaimana kemuliaan Rasul atas paling rendah-rendahnya sahabat, karena dalam konteks tersebut terdapat kalimat “ادنا كم” (yang paling rendah dikalangan mu) yang dimaksud adalah sahabat.[7]
5.    Sebagai pewaris para Nabi.
Artinya menjadi penjaga ajaran mereka. Penobatan ini bagi semua ahli ilmu atau para ulama’ dari zaman dahulu sampai pada zaman nabi Muhammad Saw. Serta umat setelahnya.[8]
Dalam riwayat lain disebutkan “barang siapa di datangi kematian dimana ia sedang menuntut ilmu untuk menghidupkan islam maka antara ia dan para Nabi di surga adalah satu derajat.”[9]
Dr. al-Husaini mengatakan, para ulama adalah penjaga ajaran dan risalah Nabi sedangkan ilmu sebagai hasil pokok dari kenabian, jika ilmu itu hilang akan hilang pula hasil pokok itu.[10]Dari sini jelas bahwa ilmu mempunyai peran yang penting bagi pembentukan kepribadian seorang muslim. Oleh karena itu para ulama dan cendekiawan mempunyai posisi yang sangat penting. Sumbangsih pemikiran mereka cukup berarti, karena membuat kehidupan lebih bersinar dan penuh harapan. Mereka bagaikan bintang-bintang yang menebarkan kebajikan, kedamaian serta petunjuk. Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa orang yang berilmu sungguh mulia, karena mendapat predikat sebagai pewaris para Nabi karena tidak ada derajat diatas para Nabi, dan tidak ada kemuliaan di atas mulianya pewaris derajat itu. Kemuliaan tersebut digambarkan dalam firman Allah sebagai berikut:
ÇÊÊÈ يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Artinya : “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.(QS. al-Mujadalah: 11)
Tentu saja yang dimaksud dengan yang diberi pengetahuan adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengatahuan. Ini berarti ayat di atas membagi kaum beriman ke dalam dua kelompok besar, yang pertama sekedar beriman dan beramal shaleh sedangkan yang kedua beriman dan beramal shaleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain baik secara lisan atau tulisan maupun dengan keteladanan.
Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa Allah meninggikan derajat orang mukmin yang berilmu di dunia dan di akhirat dengan kadar yang diperolehnya selama di dunia.[11]
Ibnu Abbas RA. berkata: para ulama memperoleh beberapa derajat di atas mukmin dengan tujuh ratus derajat dan antara dua derajat itu sebagaimana perjalanan lima ratus tahun.[12] Dalam Ihya Ulumuddin dijelaskan pula bahwa “orang yang paling dekat dari derajat kenabian adalah ahli ilmu dan jihad (perjuangan). Adapun ahli ilmu maka mereka menunjukkan manusia atas apa yang dibawa para rasul, sedangkan jihad maka ia berjuang dengan pedang mereka atas apa yang dibawa oleh para Rasul.”[13]
Melihat banyak sekali kemuliaan dan keutamaan penuntut ilmu sehingga ia dapat dikatakan sebagai sabilillah, sebagaimana sabda Rasul sebagi berikut:
عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ خَرَجَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ فَهُوَ فِي سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ (رواه الترمذي)[14]
Artinya: barang siapa yang keluar (rumah) untuk mencari ilmu maka ia dapat digolongkan fisabilillah, samapai ia pulang (HR. Tirmidzi)
Dalam hadits di atas menuntut ilmu disamakan dengan fi sabilillah, karena dengan ilmu, hukum-hukum Allah dapat diamalkan dan ditegakkan. Begitu pula jihad fi sabilillah yaitu bertujuan untuk menegakkan hukum ataupun syari’at Allah. DR. al-Husaini menyamakan thalabul ilmi dengan jihad fi sabilillah, karena keduanya memiliki kesamaan dalam segi menghidupkan agama, mempertahankan agama, melawan setan, adanya kelelahan jiwa dan memutus semua keinginan nafsu.[15]
Dalam hal kesamaan jihad fi sabilillah tersebut, Allah menegaskan kembali dalam firman-Nya sebagi berikut:
وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْاكَافَّةً ، فَلَوْلَا نَفَرَمِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَ لِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ.
Artinya: Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang.mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengatahuan agama mereka dan untuk  memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya. (QS. at-Taubah: 122).
Di antara kandungan ayat di atas adalah mempelajari ilmu merupakan sesuatu yang tidak kalah pentingnya dari kewajiban berperang dan membela negara. Karena mencari ilmu dalam arti ilmu agama dan mempelajari yang terkandung di dalamnya, dapat melahirkan kemaslahatan bagi alam semesta dan mampu memelihara serta mengembangkannya dengan baik berdasarkan konsep islam. Jika dilihat dari konteksnya disini ilmu atau memperdalam pengetahuan disandingkan dengan jihad sedangkan orang yang mati dalam keadaan jihad fi sabilillah maka mati dalam keadaan syahid sehingga pantas baginya surga sebagi balasannya, begitu juga dengan orang yang menuntut ilmu, Dalam kitab Siraj al-Thalibin disebutkan “siapa yang keluar menuntut ilmu maka ia separti mujahid, apabila mati maka mati syahid dan apabila kembali maka kembali dengan membawa ghanimah (harta rampasan)”.[16]
Selain hal yang telah dituturkan di atas orang yang menuntut ilmu telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu sehingga ketika ia mati saat menuntut ilmu ia telah terbebas dari dosa-dosa yang ia miliki. Sebagaimana yang sabda Rasul:
عَنْ سَخْبَرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ كَانَ كَفَّارَةً لِمَا مَضَى[17]
Artinya: “Barang siapa yang menuntut ilmu maka akan menjadi panebus terhadap dosa yang telah lalu”.
Maksud dari ilmu dalam hadits ini adalah ilmu syar’i yang dengannya ia dapat beramal. Sedangkan kafarah (penebus) yaitu, sebagai penutup ataupun pelebur dosa-dosa bagi orang yang menuntutnya. Tetapi ada yang berpendapat bahwa sebenarnya yang dimaksud dosa yaitu terkhusus pada dosa-dosa kecil yang berkaitan dengan hak-hak Allah, bukan dosa-dosa yang berkaitan dengan hak-hak manusia. Bagaimana seorang penutut ilmu dosa-dosanya dapat terlebur, karena dimungkinkan setelah ia menuntut ilmu, ia mengetahui apa yang diperbuatnya sehingga dapat menjadikan lantaran seseorang untuk bertaubat dari dosa-dosa yang ia lakukan.[18] Jadi ketika seseorang telah menuntut ilmu diharapkan ia mengethui semua hal-hal yang seharusnya dilakukan dalam menjalani kehidupan ini.
Dari penjelasan hadits-hadits serta ayat al-Qur’an di atas kesimpulannya bahwa betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, sehingga dengan ilmu seseorang dapat mengetahui jalan serta arah tujuan ia hidup di dunia, dengan ilmu semua yang ia harapkan dapat tercapai bahkan dengan ilmu dapat mengantarkan pemiliknya kedalam surga. Tetapi perlu diperhatikan bahwa dengan ilmu pula seseorang dapat tergelincir kedalam neraka jika ilmu tersebut tidak ia gunakan dengan baik.
D.           Penutup
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan serta kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh. Oleh karena itu Penulis banyak berharap kepada para pembaca yang budiman memberikan kritik saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan khususnya bagi penulis.













Daftar Pustaka
Abdu ar-Rahman, Abi al-Ali Muhammad, Tuhfatual-Ahwadzi, (Beirut: Dar al-Fikri, cet. VII, tt).
Al-Ghazali, Imam, Ihya’ ulumuddin, terj.Moh. Zuhri, (Semarang: CV asy-Syifa’, 1990 M).
Al-Jampesi, Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan, Siraj al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikri, cet. I, 1997 M/ 1417 H).
Al-Sijistani, Sulaiman bin al-Asy’ats Abu Daud, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar al-Fikri, cet. III, 1994 M/ 1414 H).
Al-Tirmidzi, Muhammad bin ‘Isa Abu Isa,Sunan Tirmidzi,(Beirut: Dar al-Fikri, cet. IV, 1994 M/1414H).
Al-Zuhaili, Wahbah, Tafsir al-Munir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1991 M/1411 H).



[1] Hadits Riwayat Abu Dawud dalam Sunannya, Kitâb al-‘Ilmi, Bâb al-Hâtsi ‘ala Tholabi al-‘Ilmi (Beirut: Dar al-Fikri, cet. III, 1414 H/ 1994 M), jld. 3, hal. 313.
[2] Imam Nawawi, Riyadus Sholihin, terj. Mu’ammal Hamidi (Surabaya: PT Bina ilmu, 2003), jld. 4, hal. 236.
[3] Hadits Riwayat Tirmidzi dalam Sunannya, Kitâb al-Ilmi, Bâb Fadli Thalabi al-Ilmi (Beirut: Dar al-Fikri, cet. IV, 1994 M/ 1414 H), jld. 4, hal. 294.
[4] Imam Nawawi, Riyadus Sholihin, hal. 228.
[5] Ibid., hal. 235.
[6] Ibid., hal.  234.
[7] Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi, Siraj al-Thalibin (Beirut: Dar al-Fikri, cet. I, 1997 M/ 1417 H), jld. I, hal. 73.
[8] Imam Nawawi, Riyadus Sholihin, hal. 237.
[9] Imam al-Ghazali, Ihya’ ulumuddin, terj. Moh. Zuhri (Semarang: CV asy-Syifa’, 1990), jld. 1, hal. 28.
[10] Imam Nawawi, Riyadus Sholihin, hal. 237.
[11] Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir (Beirut: Dar al-Fikr, 1411 H/1991 M), juz 28, Hal. 41.
[12] Imam al-Ghazali, Ihya’ ulumuddin, hal. 9.
[13] Ibid., hal. 14.
[14] Hadits Riwayat Tirmidzi dalam Sunannya, Kitâb al-‘Ilmi, Bâb Fadli Tholabi al-‘Ilmi (Beirut: Dar al-Fikri, cet. IV, 1414 H/ 1994 M), Jld. 4, hal. 295.
[15] Imam Nawawi, Riyadus Shalihin, hal. 233.
[16] Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi, Siraj al-Thalibin, hal. 74.
[17] Hadits Riwayat Tirmidzi dalam Sunannya, Kitâb al-‘Ilmi, Bâb Fadli Tholabi al-‘Ilmi (Beirut: Dar al-Fikri, cet. IV, 1414 H/ 1994 M), Jld. 4, hal. 295.
[18] Abi al-Ali Muhammad Abdu ar-Rahman, Tuhfatu AL-Ahwadzi (Beirut: Dar al-Fikri, cet. VII, tt), jld. 7, hal. 406-407.

Senin, 03 Desember 2018

HADITS PENTINGNYA ILMU PENGETAHUAN (Hadis Pendidikan)


HADITS PENTINGNYA ILMU PENGETAHUAN

A.           Hadits
حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ سَمِعْتُ عَاصِمَ بْنَ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ يُحَدِّثُ عَنْ دَاوُدَ بْنِ جَمِيلٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِى الدَّرْدَاءِ فِى مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنِّى جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صلى الله عليه وسلم لِحَدِيثٍ بَلَغَنِى أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ. قَالَ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ « مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ[1]                                                            
Artinya: Menceritakan kepada kita Musadad bin Musarhad, mengabarkan kepada kita Abdullah bin Daud berkata: saya mendengar dari Ashim bin Raja’ bin Haiwah diceritakan dari Daud bin Jamil dari Katsir bin Qais, dia berkata: aku pernah duduk bersama Abu Darda’ di masjid Damaskus lalu seorang laki-laki datang kepada Abu Darda’, berkata: wahai Abu Darda’ sebenarnya aku datang kepada engkau dari kota Madinah Rosulullah SAW. Karena suatu hadits yang telah datang kepada ku, bahwa engkau pernah menentukan hadits itu dari Rasulullah. Saya datang ke Syam ini tidak ada keperluan lain. Abu Darda’ berkata: sesungguhnya saya mendengar Rasulullah bersabda: barang siapa yang menempuh jalan untuk menempuh ilmu maka Allah akan menunjukkan jalan kepadanya salah satu dari jalan surga, dan sesungguhnya Malaikat mengepakkan sayapnya sebagai tanda ridlo atau hikmat kepada penuntut ilmu. Dan sesungguhnya orang yang berilmu atau orang yang alim beristighfar untuknya seluruh makhluk yang ada di bumi termasuk ikan-ikan yang ada di laut. Dan sesungguhnya keutamaan orang alim daripada yang ahli ibadah seperti halnya keutamaan bulan di malam bulan purnama terhadap semua bintang-gemintang. Dan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak pula dirham. Mereka mewariskan ilmu, maka  barang siapa mengambil ilmu itu, maka ia mengambil bagian yang berlimpah ruah.[2]
B.            Sanad Hadits
Rasulullah SAW
Abu Darda
Katsir bin Qais
Daud bin Jamil
‘Ashim bin Raja’ bin Hawaih
Abdullah bin Daud
Musaddad bin Musarhad
Abi Daud

C.            Kandungan Hadits

Maksud hadits diatas secara umum menjelaskan tentang keutamaan orang berilmu, didalamnya terdapat lima keutamaan orang yang menuntut ilmu yaitu, Allah akan memudahkan jalannya masuk surga, para Malaikat akan menghormatinya sebagai rasa tunduknya kepada pencari ilmu, semua makhluk yang ada di langit dan di bumi akan mendoakannya, orang yang menuntut ilmu itu lebih mulia dari pada orang yang rajin beribadah dan sebagai pewaris para Nabi.
Penjelasan dari keutamaan-keutamaan tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Allah akan memudahkan jalannya masuk surga
Hadits riwayat Abu Daud diatas serupa dengan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi berikut:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلاَنَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ ». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ.[3]                     

Berkaitan dengan hadits sebelumnya, hadits ini mengisyaratkan bahwa pergi mencari ilmu itu termasuk amal shaleh yang dijamin akan mendapatkan pahala, sehingga memudahkan yang bersangkutan masuk surga. Namun, ilmu yang dicari sini sudah barang tentu adalah ilmu yang bermanfaat bagi agama, yaitu ilmu yang dapat meneguhkan iman dan meningkatkan ketakwaan. [4]
2.    Para Malaikat akan menghormatinya sebagai rasa tunduknya kepada pencari ilmu. Mereka bersholawat (beristighfar) kepada orang yang menuntut ilmu untuk memintakan ampunan atasnya.
3.    Semua makhluk yang ada di langit dan di bumi akan mendoakannya
Maksudnya adalah makhluk yang ada dilangit beristighfar (memohonkan ampun) sedangkan yang ada di bumi seperti ikan dan lail-lain memohonkan do’a memintakan rahmat.[5]
4.    Orang yang menuntut ilmu itu lebih mulia dari pada orang yang rajin beribadah, maksudnya adalah ilmu merupakan perantara seseorang untuk beribadah oleh karenanya, ibadah tanpa ilmu tidak benar dan tidak dapat diterima. Riwayat lain menyebutkan “sesungguhnya keutamaan orang alim atas seorang yang ahli ibadah adalah sebagaimana keutamaan ku (Nabi) atas yang paling rendah dikalangan mu”.[6]
Menurut syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi penisbatan kemuliaan orang yang berilmu atas orang ahli ibadah adalah sebagaimana kemuliaan Rasul atas paling rendah-rendahnya sahabat, karena dalam konteks tersebut terdapat kalimat “ادنا كم” (yang paling rendah dikalangan mu) yang dimaksud adalah sahabat.[7]
5.    Sebagai pewaris para Nabi.
Artinya menjadi penjaga ajaran mereka. Penobatan ini bagi semua ahli ilmu atau para ulama’ dari zaman dahulu sampai pada zaman nabi Muhammad Saw. Serta umat setelahnya.[8]
Dalam riwayat lain disebutkan “barang siapa di datangi kematian dimana ia sedang menuntut ilmu untuk menghidupkan islam maka antara ia dan para Nabi di surga adalah satu derajat.”[9]
Dr. al-Husaini mengatakan, para ulama adalah penjaga ajaran dan risalah Nabi sedangkan ilmu sebagai hasil pokok dari kenabian, jika ilmu itu hilang akan hilang pula hasil pokok itu.[10]Dari sini jelas bahwa ilmu mempunyai peran yang penting bagi pembentukan kepribadian seorang muslim. Oleh karena itu para ulama dan cendekiawan mempunyai posisi yang sangat penting. Sumbangsih pemikiran mereka cukup berarti, karena membuat kehidupan lebih bersinar dan penuh harapan. Mereka bagaikan bintang-bintang yang menebarkan kebajikan, kedamaian serta petunjuk. Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa orang yang berilmu sungguh mulia, karena mendapat predikat sebagai pewaris para Nabi karena tidak ada derajat diatas para Nabi, dan tidak ada kemuliaan di atas mulianya pewaris derajat itu. Kemuliaan tersebut digambarkan dalam firman Allah sebagai berikut:
ÇÊÊÈ يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Artinya : “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.(QS. al-Mujadalah: 11)
Tentu saja yang dimaksud dengan yang diberi pengetahuan adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengatahuan. Ini berarti ayat di atas membagi kaum beriman ke dalam dua kelompok besar, yang pertama sekedar beriman dan beramal shaleh sedangkan yang kedua beriman dan beramal shaleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain baik secara lisan atau tulisan maupun dengan keteladanan.
Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa Allah meninggikan derajat orang mukmin yang berilmu di dunia dan di akhirat dengan kadar yang diperolehnya selama di dunia.[11]
Ibnu Abbas RA. berkata: para ulama memperoleh beberapa derajat di atas mukmin dengan tujuh ratus derajat dan antara dua derajat itu sebagaimana perjalanan lima ratus tahun.[12] Dalam Ihya Ulumuddin dijelaskan pula bahwa “orang yang paling dekat dari derajat kenabian adalah ahli ilmu dan jihad (perjuangan). Adapun ahli ilmu maka mereka menunjukkan manusia atas apa yang dibawa para rasul, sedangkan jihad maka ia berjuang dengan pedang mereka atas apa yang dibawa oleh para Rasul.”[13]
Melihat banyak sekali kemuliaan dan keutamaan penuntut ilmu sehingga ia dapat dikatakan sebagai sabilillah, sebagaimana sabda Rasul sebagi berikut:
عَنْ اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ خَرَجَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ فَهُوَ فِي سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ (رواه الترمذي)[14]
Artinya: barang siapa yang keluar (rumah) untuk mencari ilmu maka ia dapat digolongkan fisabilillah, samapai ia pulang (HR. Tirmidzi)
Dalam hadits di atas menuntut ilmu disamakan dengan fi sabilillah, karena dengan ilmu, hukum-hukum Allah dapat diamalkan dan ditegakkan. Begitu pula jihad fi sabilillah yaitu bertujuan untuk menegakkan hukum ataupun syari’at Allah. DR. al-Husaini menyamakan thalabul ilmi dengan jihad fi sabilillah, karena keduanya memiliki kesamaan dalam segi menghidupkan agama, mempertahankan agama, melawan setan, adanya kelelahan jiwa dan memutus semua keinginan nafsu.[15]
Dalam hal kesamaan jihad fi sabilillah tersebut, Allah menegaskan kembali dalam firman-Nya sebagi berikut:
وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْاكَافَّةً ، فَلَوْلَا نَفَرَمِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَ لِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ.
Artinya: Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang.mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengatahuan agama mereka dan untuk  memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya. (QS. at-Taubah: 122).
Di antara kandungan ayat di atas adalah mempelajari ilmu merupakan sesuatu yang tidak kalah pentingnya dari kewajiban berperang dan membela negara. Karena mencari ilmu dalam arti ilmu agama dan mempelajari yang terkandung di dalamnya, dapat melahirkan kemaslahatan bagi alam semesta dan mampu memelihara serta mengembangkannya dengan baik berdasarkan konsep islam. Jika dilihat dari konteksnya disini ilmu atau memperdalam pengetahuan disandingkan dengan jihad sedangkan orang yang mati dalam keadaan jihad fi sabilillah maka mati dalam keadaan syahid sehingga pantas baginya surga sebagi balasannya, begitu juga dengan orang yang menuntut ilmu, Dalam kitab Siraj al-Thalibin disebutkan “siapa yang keluar menuntut ilmu maka ia separti mujahid, apabila mati maka mati syahid dan apabila kembali maka kembali dengan membawa ghanimah (harta rampasan)”.[16]
Selain hal yang telah dituturkan di atas orang yang menuntut ilmu telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu sehingga ketika ia mati saat menuntut ilmu ia telah terbebas dari dosa-dosa yang ia miliki. Sebagaimana yang sabda Rasul:
عَنْ سَخْبَرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ كَانَ كَفَّارَةً لِمَا مَضَى[17]
Artinya: “Barang siapa yang menuntut ilmu maka akan menjadi panebus terhadap dosa yang telah lalu”.
Maksud dari ilmu dalam hadits ini adalah ilmu syar’i yang dengannya ia dapat beramal. Sedangkan kafarah (penebus) yaitu, sebagai penutup ataupun pelebur dosa-dosa bagi orang yang menuntutnya. Tetapi ada yang berpendapat bahwa sebenarnya yang dimaksud dosa yaitu terkhusus pada dosa-dosa kecil yang berkaitan dengan hak-hak Allah, bukan dosa-dosa yang berkaitan dengan hak-hak manusia. Bagaimana seorang penutut ilmu dosa-dosanya dapat terlebur, karena dimungkinkan setelah ia menuntut ilmu, ia mengetahui apa yang diperbuatnya sehingga dapat menjadikan lantaran seseorang untuk bertaubat dari dosa-dosa yang ia lakukan.[18] Jadi ketika seseorang telah menuntut ilmu diharapkan ia mengethui semua hal-hal yang seharusnya dilakukan dalam menjalani kehidupan ini.
Dari penjelasan hadits-hadits serta ayat al-Qur’an di atas kesimpulannya bahwa betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, sehingga dengan ilmu seseorang dapat mengetahui jalan serta arah tujuan ia hidup di dunia, dengan ilmu semua yang ia harapkan dapat tercapai bahkan dengan ilmu dapat mengantarkan pemiliknya kedalam surga. Tetapi perlu diperhatikan bahwa dengan ilmu pula seseorang dapat tergelincir kedalam neraka jika ilmu tersebut tidak ia gunakan dengan baik.
D.           Penutup
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi yang menjadi bahasan dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan serta kurangnya rujukan atau referensi yang kami peroleh. Oleh karena itu Penulis banyak berharap kepada para pembaca yang budiman memberikan kritik saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan khususnya bagi penulis.


[1] Hadits Riwayat Abu Dawud dalam Sunannya, Kitâb al-‘Ilmi, Bâb al-Hâtsi ‘ala Tholabi al-‘Ilmi (Beirut: Dar al-Fikri, cet. III, 1414 H/ 1994 M), jld. 3, hal. 313.
[2] Imam Nawawi, Riyadus Sholihin, terj. Mu’ammal Hamidi (Surabaya: PT Bina ilmu, 2003), jld. 4, hal. 236.
[3] Hadits Riwayat Tirmidzi dalam Sunannya, Kitâb al-Ilmi, Bâb Fadli Thalabi al-Ilmi (Beirut: Dar al-Fikri, cet. IV, 1994 M/ 1414 H), jld. 4, hal. 294.
[4] Imam Nawawi, Riyadus Sholihin, hal. 228.
[5] Ibid., hal. 235.
[6] Ibid., hal.  234.
[7] Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi, Siraj al-Thalibin (Beirut: Dar al-Fikri, cet. I, 1997 M/ 1417 H), jld. I, hal. 73.
[8] Imam Nawawi, Riyadus Sholihin, hal. 237.
[9] Imam al-Ghazali, Ihya’ ulumuddin, terj. Moh. Zuhri (Semarang: CV asy-Syifa’, 1990), jld. 1, hal. 28.
[10] Imam Nawawi, Riyadus Sholihin, hal. 237.
[11] Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir (Beirut: Dar al-Fikr, 1411 H/1991 M), juz 28, Hal. 41.
[12] Imam al-Ghazali, Ihya’ ulumuddin, hal. 9.
[13] Ibid., hal. 14.
[14] Hadits Riwayat Tirmidzi dalam Sunannya, Kitâb al-‘Ilmi, Bâb Fadli Tholabi al-‘Ilmi (Beirut: Dar al-Fikri, cet. IV, 1414 H/ 1994 M), Jld. 4, hal. 295.
[15] Imam Nawawi, Riyadus Shalihin, hal. 233.
[16] Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi, Siraj al-Thalibin, hal. 74.
[17] Hadits Riwayat Tirmidzi dalam Sunannya, Kitâb al-‘Ilmi, Bâb Fadli Tholabi al-‘Ilmi (Beirut: Dar al-Fikri, cet. IV, 1414 H/ 1994 M), Jld. 4, hal. 295.
[18] Abi al-Ali Muhammad Abdu ar-Rahman, Tuhfatu AL-Ahwadzi (Beirut: Dar al-Fikri, cet. VII, tt), jld. 7, hal. 406-407.