HADITS
PENTINGNYA ILMU PENGETAHUAN
Oleh: Agung Aji Saputra
A.
Hadits
حَدَّثَنَا مُسَدَّدُ بْنُ مُسَرْهَدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ دَاوُدَ سَمِعْتُ عَاصِمَ بْنَ رَجَاءِ بْنِ حَيْوَةَ يُحَدِّثُ عَنْ دَاوُدَ
بْنِ جَمِيلٍ عَنْ كَثِيرِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ كُنْتُ جَالِسًا مَعَ أَبِى
الدَّرْدَاءِ فِى مَسْجِدِ دِمَشْقَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ يَا أَبَا
الدَّرْدَاءِ إِنِّى جِئْتُكَ مِنْ مَدِينَةِ الرَّسُولِ صلى الله عليه وسلم
لِحَدِيثٍ بَلَغَنِى أَنَّكَ تُحَدِّثُهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
مَا جِئْتُ لِحَاجَةٍ. قَالَ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه
وسلم يَقُولُ « مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللَّهُ بِهِ
طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا
رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى
السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ
فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى
سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ
الأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا
دِينَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ
وَافِرٍ[1]
Artinya: Menceritakan kepada kita Musadad
bin Musarhad, mengabarkan kepada kita Abdullah bin Daud berkata: saya mendengar
dari Ashim bin Raja’ bin Haiwah diceritakan dari Daud bin Jamil dari Katsir bin
Qais, dia berkata: aku pernah duduk bersama Abu Darda’ di masjid Damaskus lalu
seorang laki-laki datang kepada Abu Darda’, berkata: wahai Abu Darda’
sebenarnya aku datang kepada engkau dari kota Madinah Rosulullah SAW. Karena
suatu hadits yang telah datang kepada ku, bahwa engkau pernah menentukan hadits
itu dari Rasulullah. Saya datang ke Syam ini tidak ada keperluan lain. Abu
Darda’ berkata: sesungguhnya saya mendengar Rasulullah bersabda: barang siapa
yang menempuh jalan untuk menempuh ilmu maka Allah akan menunjukkan jalan kepadanya
salah satu dari jalan surga, dan sesungguhnya Malaikat mengepakkan sayapnya
sebagai tanda ridlo atau hikmat kepada penuntut ilmu. Dan sesungguhnya orang
yang berilmu atau orang yang alim beristighfar untuknya seluruh makhluk yang
ada di bumi termasuk ikan-ikan yang ada di laut. Dan sesungguhnya keutamaan
orang alim daripada yang ahli ibadah seperti halnya keutamaan bulan di malam
bulan purnama terhadap semua bintang-gemintang. Dan sesungguhnya ulama adalah
pewaris para Nabi. Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak pula
dirham. Mereka mewariskan ilmu, maka
barang siapa mengambil ilmu itu, maka ia mengambil bagian yang berlimpah
ruah.[2]
B.
Sanad Hadits
Rasulullah SAW
↓
↓
Katsir bin Qais
↓
Daud bin Jamil
↓
‘Ashim bin Raja’
bin Hawaih
↓
Abdullah bin
Daud
↓
Musaddad bin
Musarhad
↓
C.
Kandungan Hadits
Maksud hadits diatas secara umum menjelaskan tentang
keutamaan orang berilmu, didalamnya terdapat lima keutamaan orang yang menuntut
ilmu yaitu, Allah
akan memudahkan jalannya masuk surga, para Malaikat akan menghormatinya sebagai rasa
tunduknya kepada pencari
ilmu, semua
makhluk yang ada di langit dan di bumi akan mendoakannya, orang
yang menuntut ilmu itu lebih mulia dari pada orang yang rajin beribadah dan sebagai
pewaris para Nabi.
Penjelasan dari
keutamaan-keutamaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Allah
akan memudahkan jalannya masuk surga
Hadits riwayat Abu Daud diatas serupa dengan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi berikut:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ
غَيْلاَنَ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ أَبِى صَالِحٍ عَنْ
أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ سَلَكَ
طَرِيقًا يَلْتَمِسُ
فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ.[3]
Berkaitan dengan hadits sebelumnya, hadits ini mengisyaratkan bahwa pergi
mencari ilmu itu termasuk amal shaleh yang dijamin akan mendapatkan pahala,
sehingga memudahkan yang bersangkutan masuk surga. Namun, ilmu yang dicari sini
sudah barang tentu adalah ilmu yang bermanfaat bagi agama, yaitu ilmu yang
dapat meneguhkan iman dan meningkatkan ketakwaan. [4]
2. Para Malaikat akan menghormatinya sebagai rasa
tunduknya kepada pencari ilmu. Mereka bersholawat
(beristighfar) kepada orang yang menuntut ilmu untuk memintakan ampunan
atasnya.
3. Semua
makhluk yang ada di langit dan di bumi akan mendoakannya
Maksudnya adalah makhluk
yang ada dilangit beristighfar (memohonkan ampun) sedangkan yang ada di bumi
seperti ikan dan lail-lain memohonkan do’a memintakan rahmat.[5]
4. Orang yang menuntut ilmu itu lebih mulia dari pada orang
yang rajin beribadah, maksudnya adalah ilmu merupakan perantara seseorang untuk
beribadah oleh karenanya, ibadah tanpa ilmu tidak benar dan tidak dapat
diterima. Riwayat lain menyebutkan “sesungguhnya
keutamaan orang alim atas seorang yang ahli ibadah adalah sebagaimana keutamaan
ku (Nabi) atas yang paling rendah dikalangan mu”.[6]
Menurut syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi penisbatan kemuliaan orang
yang berilmu atas orang ahli ibadah adalah sebagaimana kemuliaan Rasul atas
paling rendah-rendahnya sahabat, karena dalam konteks tersebut terdapat kalimat
“ادنا
كم” (yang paling rendah dikalangan mu) yang dimaksud adalah sahabat.[7]
5. Sebagai
pewaris para Nabi.
Artinya menjadi
penjaga ajaran mereka. Penobatan ini bagi semua ahli ilmu atau para ulama’ dari
zaman dahulu sampai pada zaman nabi Muhammad Saw. Serta umat setelahnya.[8]
Dalam riwayat lain
disebutkan “barang siapa di datangi
kematian dimana ia sedang menuntut ilmu untuk menghidupkan islam maka antara ia
dan para Nabi di surga adalah satu derajat.”[9]
Dr. al-Husaini mengatakan, para ulama adalah penjaga ajaran
dan risalah Nabi sedangkan ilmu sebagai hasil pokok dari kenabian, jika ilmu
itu hilang akan hilang pula hasil pokok itu.[10]Dari sini jelas bahwa ilmu mempunyai peran yang penting
bagi pembentukan kepribadian seorang muslim. Oleh karena itu para ulama dan cendekiawan mempunyai posisi yang sangat
penting. Sumbangsih pemikiran mereka cukup berarti, karena membuat kehidupan
lebih bersinar dan penuh harapan. Mereka bagaikan bintang-bintang yang
menebarkan kebajikan, kedamaian serta petunjuk. Dari penjelasan
diatas dapat diketahui bahwa orang yang berilmu sungguh mulia, karena mendapat
predikat sebagai pewaris para Nabi karena tidak ada
derajat diatas para Nabi, dan tidak ada kemuliaan di atas mulianya pewaris
derajat itu. Kemuliaan tersebut digambarkan dalam firman Allah sebagai berikut:
ÇÊÊÈ
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا
الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Artinya : “Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.(QS. al-Mujadalah: 11)
Tentu saja
yang dimaksud dengan yang diberi pengetahuan adalah mereka yang beriman dan
menghiasi diri mereka dengan pengatahuan. Ini berarti ayat di atas membagi kaum
beriman ke dalam dua kelompok besar, yang pertama
sekedar beriman dan beramal shaleh sedangkan yang kedua beriman dan beramal shaleh serta memiliki pengetahuan.
Derajat kelompok kedua ini menjadi lebih tinggi, bukan saja karena ilmu yang
disandangnya, tetapi juga amal dan pengajarannya kepada pihak lain baik secara
lisan atau tulisan maupun dengan keteladanan.
Wahbah Zuhaili berpendapat bahwa Allah meninggikan
derajat orang mukmin yang berilmu di dunia dan di akhirat dengan kadar yang
diperolehnya selama di dunia.[11]
Ibnu Abbas RA. berkata: para ulama memperoleh beberapa
derajat di atas mukmin dengan tujuh
ratus derajat dan antara dua derajat itu sebagaimana perjalanan lima ratus
tahun.[12] Dalam Ihya Ulumuddin dijelaskan pula bahwa “orang yang paling dekat dari derajat
kenabian adalah ahli ilmu dan jihad (perjuangan). Adapun ahli ilmu maka mereka
menunjukkan manusia atas apa yang dibawa para rasul, sedangkan jihad maka ia
berjuang dengan pedang mereka atas apa yang dibawa oleh para Rasul.”[13]
Melihat banyak sekali kemuliaan dan keutamaan penuntut
ilmu sehingga ia dapat dikatakan sebagai sabilillah,
sebagaimana sabda Rasul sebagi berikut:
عَنْ
اَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ مَنْ خَرَجَ فِي طَلَبِ الْعِلْمِ فَهُوَ فِي سَبِيْلِ
اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ (رواه الترمذي)[14]
Artinya:
barang siapa yang keluar (rumah) untuk mencari
ilmu maka ia dapat digolongkan fisabilillah, samapai ia pulang (HR. Tirmidzi )
Dalam
hadits di atas menuntut ilmu
disamakan dengan fi sabilillah,
karena dengan ilmu, hukum-hukum Allah dapat diamalkan dan
ditegakkan. Begitu pula jihad fi
sabilillah yaitu bertujuan untuk menegakkan hukum ataupun syari’at
Allah. DR. al-Husaini
menyamakan thalabul ilmi dengan jihad
fi sabilillah, karena keduanya
memiliki kesamaan dalam segi menghidupkan agama, mempertahankan agama, melawan
setan, adanya kelelahan jiwa dan memutus semua keinginan nafsu.[15]
Dalam
hal kesamaan jihad fi sabilillah tersebut, Allah menegaskan kembali dalam firman-Nya sebagi berikut:
وَمَاكَانَ
الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْاكَافَّةً ، فَلَوْلَا نَفَرَمِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ
مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَ لِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ
اِذَا رَجَعُوْا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ.
Artinya: Dan tidak sepatutnya
orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang.mengapa sebagian dari
setiap golongan diantara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengatahuan agama
mereka dan untuk memberi peringatan
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.
(QS. at-Taubah: 122).
Di antara kandungan ayat di atas adalah mempelajari ilmu merupakan sesuatu
yang tidak kalah pentingnya dari kewajiban berperang dan membela negara. Karena
mencari ilmu dalam arti ilmu agama dan mempelajari yang terkandung di dalamnya,
dapat melahirkan kemaslahatan bagi alam semesta dan mampu memelihara serta mengembangkannya
dengan baik berdasarkan konsep islam. Jika dilihat dari konteksnya disini ilmu
atau memperdalam pengetahuan disandingkan dengan jihad sedangkan orang yang
mati dalam keadaan jihad fi sabilillah maka
mati dalam keadaan syahid sehingga pantas baginya surga sebagi balasannya,
begitu juga dengan orang yang menuntut ilmu, Dalam kitab Siraj al-Thalibin
disebutkan “siapa yang keluar menuntut
ilmu maka ia separti mujahid, apabila mati maka mati syahid dan apabila kembali
maka kembali dengan membawa ghanimah (harta rampasan)”.[16]
Selain hal yang telah dituturkan di atas orang yang menuntut ilmu telah
diampuni dosa-dosanya yang telah lalu sehingga ketika ia mati saat menuntut
ilmu ia telah terbebas dari dosa-dosa yang ia miliki. Sebagaimana yang sabda Rasul:
عَنْ
سَخْبَرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ طَلَبَ
الْعِلْمَ كَانَ كَفَّارَةً لِمَا مَضَى[17]
Artinya: “Barang siapa yang menuntut ilmu maka akan
menjadi panebus terhadap dosa yang telah lalu”.
Maksud dari ilmu dalam hadits ini
adalah ilmu syar’i yang dengannya ia dapat beramal. Sedangkan kafarah (penebus) yaitu,
sebagai penutup ataupun pelebur dosa-dosa bagi orang yang menuntutnya. Tetapi ada
yang berpendapat bahwa sebenarnya yang dimaksud dosa yaitu terkhusus pada dosa-dosa
kecil yang berkaitan dengan hak-hak Allah, bukan dosa-dosa yang berkaitan
dengan hak-hak manusia. Bagaimana seorang penutut ilmu dosa-dosanya dapat terlebur, karena dimungkinkan setelah ia menuntut ilmu, ia mengetahui apa yang diperbuatnya sehingga dapat menjadikan lantaran seseorang untuk bertaubat dari
dosa-dosa yang ia lakukan.[18] Jadi
ketika seseorang telah menuntut ilmu diharapkan ia mengethui semua hal-hal yang
seharusnya dilakukan dalam menjalani kehidupan ini.
Dari penjelasan hadits-hadits
serta ayat al-Qur’an di atas
kesimpulannya bahwa betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia,
sehingga dengan ilmu seseorang dapat mengetahui jalan serta arah tujuan ia
hidup di dunia, dengan ilmu semua yang ia harapkan dapat tercapai bahkan dengan
ilmu dapat mengantarkan pemiliknya kedalam surga. Tetapi perlu diperhatikan
bahwa dengan ilmu pula seseorang dapat tergelincir kedalam neraka jika ilmu
tersebut tidak ia gunakan dengan baik.
D.
Penutup
Demikianlah yang dapat kami sampaikan mengenai materi
yang menjadi bahasan dalam makalah ini, tentunya banyak kekurangan dan
kelemahan kerena terbatasnya pengetahuan serta kurangnya rujukan atau referensi
yang kami peroleh. Oleh karena itu Penulis banyak berharap kepada para pembaca
yang budiman memberikan kritik saran yang membangun kepada kami demi
sempurnanya makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
umumnya dan khususnya bagi penulis.
Daftar Pustaka
Abdu ar-Rahman, Abi
al-Ali Muhammad, Tuhfatual-Ahwadzi, (Beirut: Dar
al-Fikri,
cet. VII, tt).
Al-Ghazali, Imam, Ihya’ ulumuddin,
terj.Moh. Zuhri, (Semarang: CV
asy-Syifa’, 1990 M ).
Al-Jampesi, Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan, Siraj al-Thalibin, (Beirut: Dar al-Fikri, cet. I, 1997 M/ 1417 H).
Al-Sijistani, Sulaiman bin al-Asy’ats Abu Daud, Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar al-Fikri, cet. III, 1994 M/ 1414 H).
Al-Tirmidzi, Muhammad bin ‘Isa Abu Isa,Sunan
Tirmidzi,(Beirut: Dar al-Fikri, cet. IV, 1994 M/1414H).
Al-Zuhaili,
Wahbah, Tafsir al-Munir, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1991 M/1411 H).
[1]
Hadits Riwayat Abu Dawud dalam Sunannya,
Kitâb al-‘Ilmi,
Bâb al-Hâtsi ‘ala Tholabi
al-‘Ilmi (Beirut: Dar al-Fikri,
cet. III, 1414 H/ 1994 M ),
jld. 3, hal. 313.
[2]
Imam Nawawi, Riyadus Sholihin, terj. Mu’ammal Hamidi (Surabaya: PT
Bina ilmu, 2003), jld. 4, hal. 236.
[3]
Hadits Riwayat Tirmidzi dalam Sunannya, Kitâb al-Ilmi, Bâb Fadli
Thalabi al-Ilmi (Beirut: Dar al-Fikri, cet. IV, 1994 M/ 1414 H), jld. 4, hal.
294.
[4]
Imam Nawawi, Riyadus Sholihin, hal.
228.
[7] Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan
al-Jampesi, Siraj al-Thalibin
(Beirut: Dar al-Fikri, cet. I, 1997 M/ 1417 H), jld. I, hal. 73.
[9] Imam al-Ghazali, Ihya’ ulumuddin, terj. Moh. Zuhri (Semarang: CV asy-Syifa’, 1990),
jld. 1, hal. 28.
[12] Imam al-Ghazali, Ihya’ ulumuddin, hal. 9.
[14] Hadits Riwayat Tirmidzi dalam Sunannya, Kitâb al-‘Ilmi, Bâb Fadli Tholabi al-‘Ilmi (Beirut: Dar
al-Fikri, cet. IV, 1414 H/ 1994
M ), Jld. 4, hal. 295.
[15]
Imam Nawawi, Riyadus Shalihin, hal.
233.
[16]
Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi, Siraj
al-Thalibin, hal. 74.
[17]
Hadits Riwayat Tirmidzi dalam Sunannya,
Kitâb al-‘Ilmi, Bâb Fadli Tholabi al-‘Ilmi
(Beirut: Dar al-Fikri, cet.
IV, 1414 H/ 1994 M ), Jld. 4, hal. 295.
[18]
Abi al-Ali Muhammad Abdu ar-Rahman, Tuhfatu
AL-Ahwadzi (Beirut: Dar al-Fikri, cet. VII, tt), jld. 7, hal. 406-407.